Jumat, 10 Maret 2017

MELURUSKAN TATA CARA WUDHU SESUAI PETUNJUK NABI

07.23.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Dalam tausiah siang ini, ane akan mengenalkan bagaimanakah tata cara wudhu yang benar yang sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga dengan pembahasan ini pula dapat meluruskan kesalahan² yang selama ini ada'..

Shalat Tidak Sah Tanpa Berwudhu

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

“Tidak ada shalat kecuali dengan thoharoh. Tidak ada sedekah dari hasil pengkhianatan.”
(HR. Muslim no.224)

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Hadits ini adalah nash mengenai wajibnya thoharoh untuk shalat. Kaum muslimin telah bersepakat bahwa thoharoh merupakan syarat sah shalat.”

Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

“Shalat salah seorang di antara kalian tidak akan diterima ketika masih berhadats sampai dia berwudhu." (HR. Bukhari no.6954 dan Muslim no.225)

Tata Cara Wudhu

Mengenai tata cara berwudhu diterangkan dalam hadits berikut..

حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ أَخْبَرَهُ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ – رضى الله عنه – دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ». قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَكَانَ عُلَمَاؤُنَا يَقُولُونَ هَذَا الْوُضُوءُ أَسْبَغُ مَا يَتَوَضَّأُ بِهِ أَحَدٌ لِلصَّلاَةِ.

"Humran pembantu Utsman menceritakan bahwa Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu pernah meminta air untuk wudhu kemudian dia ingin berwudhu. Beliau membasuh kedua telapak tangannya 3 kali, kemudian berkumur-kumur diiringi memasukkan air ke hidung, kemudian membasuh mukanya 3 kali, kemudian membasuh tangan kanan sampai ke siku tiga kali, kemudian mencuci tangan yang kiri seperti itu juga, kemudian mengusap kepala, kemudian membasuh kaki kanan sampai mata kaki tiga kali, kemudian kaki yang kiri seperti itu juga. Kemudian Utsman berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian beliau bersabda, “Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini kemudian dia shalat dua rakaat dengan khusyu (tidak memikirkan urusan dunia dan yang tidak punya kaitan dengan shalat), maka Allah akan mengampuni dosa²nya yang telah lalu”. Ibnu Syihab berkata, “Ulama kita mengatakan bahwa wudhu seperti ini adalah contoh wudhu yang paling sempurna yang dilakukan seorang hamba untuk shalat”.
(HR. Bukhari dan Muslim)

Dari hadits ini dan hadits lainnya, kita dapat meringkas tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai berikut'..
  • Berniat dalam hati untuk menghilangkan hadats.
  • Membaca basmalah: ‘bismillah’.
  • Membasuh kedua telapak tangan sebanyak tiga kali.
  • Mengambil air dengan tangan kanan, lalu dimasukkan dalam mulut (berkumur-kumur atau madmadho) dan dimasukkan dalam hidung (istinsyaq) sekaligus melalui satu cidukan. Kemudian air tersebut dikeluarkan (istintsar) dengan tangan kiri. Hal ini dilakukan sebanyak tiga kali.
  • Membasuh seluruh wajah sebanyak tiga kali dan menyela-nyela jenggot.
  • Membasuh tangan kanan kemudian kiri hingga siku dan sambil menyela-nyela jari-jemari.
  • Membasuh kepala 1 kali dan termasuk di dalamnya telinga.
  • Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kedua telinga termasuk bagian dari kepala” (HR. Ibnu Majah, disahihkan oleh Al Albani).
  • Tatacara membasuh kepala ini adalah sebagai berikut, kedua telapak tangan dibasahi dengan air. Kemudian kepala bagian depan dibasahi lalu menarik tangan hingga kepala bagian belakang, kemudian menarik tangan kembali hingga kepala bagian depan. Setelah itu langsung dilanjutkan dengan memasukkan jari telunjuk ke lubang telinga, sedangkan ibu jari menggosok telinga bagian luar.
  • Membasuh kaki 3 kali hingga ke mata kaki dengan mendahulukan kaki kanan sambil membersihkan sela² jemari kaki.

Berikut catatan penting yang perlu diperhatikan dalam tata cara wudhu di atas..

Niat Cukup dalam Hati

Yang dimaksud niat adalah Al Qosd (keinginan) dan Al Irodah (kehendak). Sedangkan yang namanya keinginan dan kehendak pastilah dalam hati, sehingga niat pun letaknya dalam hati.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Letak niat adalah di hati bukan di lisan. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin dalam segala macam ibadah termasuk shalat, thoharoh, zakat, haji, puasa, memerdekakan budak, jihad dan lainnya.”

Ibnul Qayim rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di awal wudhu tidak pernah mengucapkan “nawaitu rof’al hadatsi (aku berniat untuk menghilangkan hadats …)”. Beliau pun tidak menganjurkannya. Begitu pula tidak ada seorang sahabat pun yang mengajarkannya. Tidak pula terdapat satu riwayat baik dengan sanad yang shahih maupun dho’if (lemah) yang menyebutkan bahwa beliau mengucapkan bacaan tadi.”

Berkumur-kumur dan Memasukkan Air dalam Hidung Dilakukan Sekaligus Melalui Satu Cidukan Tangan

Ibnul  Qayyim menyebutkan,

“Ketika berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung (istinsyaq), terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan satu cidukan tangan, terkadang dengan dua kali cidukan dan terkadang pula dengan tiga kali cidukan. Namun beliau menyambungkan (tidak memisah) antara kumur-kumur dan istinsyaq. Beliau menggunakan separuh cidukan tangan untuk mulut dan separuhnya lagi untuk hidung. Ketika suatu saat beliau berkumur-kumur dan istinsyaq dengan satu cidukan maka kemungkinan cuma dilakukan seperti ini yaitu kumur² dan istinsyaq disambung (bukan dipisah).

Adapun ketika beliau berkumur² dan istinsyaq dengan dua atau tiga cidukan, maka di sini baru kemungkinan berkumur² dan beristinsyaq bisa dipisah. Akan tetapi, yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam contohkan adalah memisahkan antara berkumur-kumur dan istinsyaq. Sebagaimana disebutkan dalam shahihain dari ‘Abdullah bin Zaid bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tamadh-madho (berkumur-kumur) dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung) melalui air satu telapak tangan dan seperti ini dilakukan tiga kali. Dalam lafazh yang lain disebutkan bahwa  tamadh-madho (berkumur-kumur) dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung) melalui tiga kali cidukan. Inilah riwayat yang lebih shahih dalam masalah kumur² dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung).

Tidak ada satu hadits shahih pun yang menyatakan bahwa kumur² dan istinsyaq dipisah. Kecuali ada riwayat dari Tholhah bin Mushorrif dari ayahnya dari kakeknya yang mengatakan bahwa dia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisah antara kumur² dan istinsyaq. Dan riwayat tersebut hanyalah berasal dari Tholhah dari ayahnya, dari kakeknya. Padahal kakekanya tidak dikenal sebagai seorang sahabat.”

Membasuh Kepala Cukup Sekali

Ibnul Qayyim menjelaskan,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membasuh kepalanya seluruh dan terkadang beliau membasuh ke depan kemudian ke belakang. Sehingga dari sini sebagian orang mengatakan bahwa membasuh kepala itu dua kali. Akan tetapi yang tepat adalah membasuh kepala cukup sekali (tanpa diulang). Untuk anggota wudhu lain biasa diulang. Namun untuk kepala, cukup dibasuh sekali. Inilah pendapat yang lebih tegas dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berbeda dengan cara ini.

Adapun hadits yang membicarakan beliau membasuh kepala lebih dari sekali, terkadang haditsnya shahih, namun tidak tegas. Seperti perkataan sahabat yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan mengusap tiga kali tiga kali. Seperti pula perkataan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membasuh kepala dua kali. Terkadang pula haditsnya tegas, namun tidak shahih. Seperti hadits Ibnu Al Bailamani dari ayahnya dari ‘Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap tangannya tiga kali dan membasuh kepala juga tiga kali. Namun perlu diketahui bahwa Ibnu Al Bailamani dan ayahnya adalah periwayat yang lemah.”

Kepala Sekaligus Diusap dengan Telinga

Telinga hendaknya diusap berbarengan setelah kepala karena telinga adalah bagian dari kepala. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ

“Dua telinga adalah bagian dari kepala.” (HR. Abu Daud no.134, At Tirmidzi no.37, Ibnu Majah no.443)

Hadits ini adalah hadits yang lemah jika marfu’ (dianggap ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Akan tetapi hadits di atas dikatakan oleh beberapa ulama salaf di antaranya adalah Ibnu ‘Umar.

Ash Shon’ani menjelaskan,

”Walaupun sanad hadits ini dikritik, akan tetapi ada berbagai riwayat yang menguatkan satu sama lain. Sebagai penguat hadits tersebut adalah hadits yang mengatakan bahwa membasuh dua telinga adalah sekaligus dengan kepala sebanyak sekali. Hadits yang menyebutkan seperti ini amatlah banyak, ada dari Ali, Ibnu Abbas, Ar Robi’ dan ‘Utsman. Semua hadits tersebut bersepakat bahwa membasuh kedua telinga sekaligus bersama kepala dengan melalui satu cidukan air, sebagaimana hal ini adalah makna zhohir (tekstual) dari kata marroh (yang artinya sekali). Jika untuk membasuh kedua telinga digunakan air yang baru, tentu tidak dikatakan, “Membasuh kepala dan telinga sekali saja”. Jika ada yang memaksudkan bahwa beliau tidaklah mengulangi membasuh kepala dan telinga, akan tetapi yang dimaksudkan adalah mengambil air yang baru, maka ini pemahaman yang jelas keliru.

Adapun riwayat yang menyatakan bahwa air yang digunakan untuk membasuh kedua telinga berbeda dengan kepala, itu bisa dipahami kalau air yang ada di tangan ketika membasuh kepala sudah kering, sehingga untuk membasuh telinga digunakan air yang baru.”

Seluruh Kepala Dibasuh, Bukan Hanya Ubun² Saja

Allah Ta’ala berfirman,

وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ

“Dan basuhlah kepala kalian.” (QS. Al Maidah: 6)

Fungsi huruf baa’ dalam ayat di atas adalah lil ilsoq artinya melekatkan dan bukan li tab’idh (menyebutkan sebagian). Maknanya sama dengan membasuh wajah ketika tayamum, sebagaimana dalam ayat,

فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ

“Dan basuhlah wajah kalian.” (QS. Al Maidah: 6).

Dua dalil di atas masih berada dalam konteks ayat yang sama. Mengusap wajah pada tayamum bukan hanya sebagian (namun seluruhnya) sehingga yang dimaksudkan dengan mengusap kepala adalah mengusap seluruh kepala.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan,

“Apabila ayat yang membicarakan tentang tayamum tidak mengatakan bahwa mash (membasuh) wajah hanya sebagian padahal tayamum adalah pengganti wudhu dan tayamum jarang² dilakukan, bagaimana bisa ayat wudhu yang menjelaskan mash (membasuh) kepala cuma dikatakan sebagian saja yang dibasuh padahal wudhu sendiri adalah hukum asal dalam berthoharoh dan sering berulang² dilakukan?! Tentu yang mengiyakan hal ini tidak dikatakan oleh orang yang berakal.”

Begitu pula terdapat dalam hadits lain dijelaskan bahwa membasuh kepala adalah seluruhnya dan bukan sebagian. Dalilnya,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ قَالَ أَتَى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَأَخْرَجْنَا لَهُ مَاءً فِى تَوْرٍ مِنْ صُفْرٍ فَتَوَضَّأَ ، فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَيَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ ، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ فَأَقْبَلَ بِهِ وَأَدْبَرَ ، وَغَسَلَ رِجْلَيْهِ

Dari Abdullah bin Zaid, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, lalu kami mengeluarkan untuknya air dalam bejana dari kuningan, kemudian akhirnya beliau berwudhu. Beliau mengusap wajahnya tiga kali, mengusap tangannya dua kali dan membasuh kepalanya, dia menarik ke depan kemudian ditarik ke belakang, kemudian terakhir beliau mengusap kedua kakinya." (HR. Bukhari no.197)

Dalam riwayat lain dikatakan,

وَمَسَحَ رَأْسَهُ كُلَّهُ

“Beliau membasuh seluruh kepalanya.” (HR. Ibnu Khuzaimah 1/18)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Tidak ada satu pun sahabat yang menceritakan tata cara wudhu Nabi yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mencukupkan dengan membasuh sebagian kepala saja.”
Namun ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membasuh ubun², beliau juga sekaligus membasuh imamahnya.

Sedangkan untuk wanita muslimah tata cara membasuh kepala tidak dibedakan dengan pria. Akan tetapi, boleh bagi wanita untuk membasuh khimarnya saja. Akan tetapi, jika ia membasuh bagian depan kepalanya disertai dengan khimarnya, maka itu lebih bagus agar terlepas dari perselisihan para ulama. Wallahu a’lam..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

BAGIAN TUBUH YANG TIDAK TERBASUH SAAT WUDHU

07.05.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Di antara kewajiban wudhu adalah setiap anggota wudhu harus terkena basuhan. Dan jika ada bagian yang mesti dicuci, maka harus dicuci, tidak hanya cukup diusap. Jika ada bagian anggota wudhu yang tertutupi kotoran, seperti cat atau tipe-x sebagaimana yang dialami oleh sebagian kita, maka harus dihilangkan. Jika tidak dan membuat air tidak mengenai kulit atau kuku, maka membuat wudhunya tidak sah.

Tumit yang Tidak Terbasuh Wudhu

Ada hadits yang membicarakan ancaman bagi orang yang tidak berwudhu dengan sempurna. Dalilnya adalah,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ تَخَلَّفَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفَرٍ سَافَرْنَاهُ فَأَدْرَكَنَا وَقَدْ أَرْهَقْنَا الصَّلاَةَ صَلاَةَ الْعَصْرِ وَنَحْنُ نَتَوَضَّأُ ، فَجَعَلْنَا نَمْسَحُ عَلَى أَرْجُلِنَا ، فَنَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ « وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ » . مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثً

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata, “Kami pernah tertinggal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu safar. Kami lalu menyusul beliau dan ketinggalan shalat yaitu shalat Ashar. Kami berwudhu sampai bagian kaki hanya diusap (tidak dicuci). Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil dengan suara keras dan berkata, “Celakalah tumit² dari api neraka.” Beliau menyebut dua atau tiga kali. (HR. Bukhari no.96 dan Muslim no.241).

Yang namanya diusap, berarti tangan cukup dibasahi lalu menyentuh bagian anggota wudhu, tanpa air mesti dialirkan.

Dalam riwayat Muslim, disebutkan bahwa ‘Abdullah bin ‘Amr berkata,

رَجَعْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ مَكَّةَ إِلَى الْمَدِينَةِ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِمَاءٍ بِالطَّرِيقِ تَعَجَّلَ قَوْمٌ عِنْدَ الْعَصْرِ فَتَوَضَّئُوا وَهُمْ عِجَالٌ فَانْتَهَيْنَا إِلَيْهِمْ وَأَعْقَابُهُمْ تَلُوحُ لَمْ يَمَسَّهَا الْمَاءُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ أَسْبِغُوا الْوُضُوءَ »

“Kami pernah kembali bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Mekkah menuju Madinah hingga sampai di air di tengah jalan, sebagian orang tergesa² untuk shalat Ashar, lalu  mereka berwudhu dalam keadaan terburu². Kami pun sampai pada mereka dan melihat air tidak menyentuh tumit mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Celakalah tumit² dari api neraka. Sempurnakanlah wudhu kalian.” (HR. Muslim no.241).

Yang dimaksud a’qoob dalam hadits di atas adalah urat di atas tumit, disebut ‘aroqib. Kata ‘wail’ dalam hadits menunjukkan ancaman dan hukuman.

Syech Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Hadits di atas adalah ancaman untuk tumit (perkara yang kecil), namun ancaman ini berlaku juga untuk hal yang lebih dari itu. Karena jika tidak dimaafkan yang sepele seperti tumit, maka yang lebih dari itu tentu tidak dimaafkan.” (At Ta’liqot ‘ala Umdatil Ahkam hal. 26).

Hadits ini juga menerangkan bahwa wajibnya menyempurnakan wudhu dan perintah membasuh anggota² wudhu. Yang luput dari hal ini, ia terjerumus dalam dosa besar karena diancam dengan neraka seperti itu. Diterangkan oleh Syech As Sa’di di halaman yang sama.

Syech As Sa’di juga mengatakan, “Jika menganggap sepele dalam berwudhu tercela, begitu pula berlebihan dan mendapati was² dalam wudhu juga sama tercela.” (At Ta’liqot ‘ala Umdatil Ahkam hal.26).

Jika Ada Bagian Wudhu Tertutupi Kotoran

Pakar fiqih madzhab Syafi’i saat ini, Syech Musthofa Al Bugho hafizhohullah berkata, “Wajib membasuh seluruh kulit dan rambut ketika membasuh. Seandainya di kuku ada kotoran yang menghalangi masuknya air atau terdapat cincin yang menutupi, maka wudhunya tidak sah.” (Al Fiqhu Al Manhaji hal.55).

Dalam hadits yang menerangkan orang yang wudhunya kurang sempurna disebutkan,

عَنْ جَابِرٍ أَخْبَرَنِى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أَنَّ رَجُلاً تَوَضَّأَ فَتَرَكَ مَوْضِعَ ظُفُرٍ عَلَى قَدَمِهِ فَأَبْصَرَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ ». فَرَجَعَ ثُمَّ صَلَّى

Dari Jabir, ‘Umar bin Khottob mengabarkan bahwa ada seseorang yang berwudhu lantas bagian kuku kakinya tidak terbasuh, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya dan berkata, “Ulangilah, perbaguslah wudhumu.” Lantas ia pun mengulangi dan kembali shalat. (HR. Muslim no.243).

Syech Musthofa Al Bugho berkata, “Tidak sah wudhu jika ada sebagian kecil dari anggota wudhu yang tidak dicuci.” (Al Fiqhu Al Manhaji hal.55).

Hadits Bantahan untuk Syi’ah

Kebiasaan Syi’ah ketika berwudhu, mereka hanya mengusap kaki, tidak dicuci. Mengusap berarti tangan cukup dibasahi lalu mengusap anggota wudhu yang ada seperti saat mengusap kepala. Sedangkan mencuci berarti dengan mengalirkan air. Inilah salah satu penyimpangan kaum Rafidhah (Syi’ah).

Salah seorang guru ane, Syech Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa wudhu tidaklah sah sampai bagian tumit cuci (tidak cukup diusap). Inilah pendapat jumhur ulama yang menyelisihi ahlu bid’ah.” (Syarh Umdatil Ahkam hal.17).

Syech Ali Bassam berkata, “Mencuci kaki ketika wudhu adalah wajib. Inilah yang didukung oleh dalil yang shahih bahkan diperkuat dengan konsensus para ulama (Ijma’). Hal ini berbeda dengan kebiasaan orang Syi’ah di mana mereka menyelisihi para ulama dalam hal ini. Mereka menyelisihi hadits² shahih yang menjelaskan praktek wudhu dan pengajaran wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada para sahabat. Mereka pun menyelisihi qiyas yang shahih yang menyatakan bahwa mencuci kaki lebih utama daripada mengusap. Mencuci kaki itulah makna yang lebih tepat ketika memahami dalil.” (Taisirul ‘Allam hal.20).

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

PEGAWAI YANG BAIK 'AMANAT DAN KAPABEL'

07.00.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Jika kita sebagai seorang majikan, direktur atau manager, bagaimanakah kita memilih pegawai yang baik? Islam ternyata telah mengajarkannya. Pilihlah pegawai yang amanat dan kapabel. Dua sifat itulah yang menjamin suatu pekerjaan bisa baik dan sempurna.

Allah Ta’ala berfirman,

قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS. Al Qashshash: 26).

Nabi Yusuf ‘alaihis salam berkata,

اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ

“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (QS. Yusuf: 55).

Syech As Sa’di rahimahullah telah menarik faedah menarik dari kedua ayat di atas. Beliau berkata,

“Dapat diambil dari kedua ayat di atas, hendaknya yang dipilih dalam mempekerjakaan dan mengupahi seseorang (dalam transaksi ijaroh dan ji’alah), transaksi yang mementingkan sifat amanah dan kekuasaan baik dalam ruang lingkup kecil atau besar yaitu orang yang memiliki dua sifat:

1. Al Qowiy, yaitu memiliki kapabilitas (kompentesi yang baik) dan pandai untuk menjaga amanat, dan juga melakukan hal² yang mendukung sehingga pekerjaan bisa sempurna.

2. Al Amanah, yaitu tahu akan kewajiban sebagai orang yang diserahi amanat.

Dengan sifat pertama, amalan jadi sempurna atau terselesaikan. Dengan sifat kedua, tau akan kewajiban. Jika terkumpul dua sifat tersebut secara sempurna pada seorang pekerja, maka ikatlah kesetiaannya tersebut. Kalau tidak memperoleh yang sempurna, maka carilah yang semisal dan semisal dengannya. Namun patut dipahami bahwa jika ada kecacatan atau ketidaksempurnaan dalam pekerjaan, itu dikarenakan karena adanya ketidaksempurnaan dalam dua sifat di atas (Al Qowiy dan Al Amanah).” (Taisir Al Lathifil Mannan hal.191).

Bagaimana jika kita berposisi sebagai pegawai? Milikilah dan jagalah dua sifat di atas.

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..