Jumat, 16 September 2016

MATA YANG TIDAK BISA DI JAGA

07.13.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum, Siang Akhi Ukhti'..

Zaman modern seperti ini dengan fasilitas yang semakin mudah, hanya lewat handphone, gadget atau tab, bisa melihat gambar² atau video porno. Ini suatu musibah sehingga butuh terus diingatkan.

Berikut ini beberapa dalil sebagai peringatan yang menunjukkan akan bahayanya pandangan yang tidak bisa dijaga, apalagi melihat gambar wanita yang tak layak dipandang, lebih-lebih telanjang.

Wanita itu Hiasan Dunia Terdepan

Allah Ta’ala berfirman,

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآَبِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran: 14).

Lihatlah Allah memulai dengan menyebut wanita sebelum kenikmatan dunia lainnya. Menunjukkan bahwa godaan wanita memang sungguh dahsyat.
Oleh karena itu para ulama menyatakan, empat harta yang disebutkan dalam ayat setiap kalangan akan menyukainya.

Untuk emas dan perak akan dijadikan harga istimewa oleh para pedagang.
Untuk kuda akan dijadikan harta tunggangan oleh para raja.
Untuk ternak akan dijadikan harta piaraan oleh orang-orang di lembah.
Untuk ladang akan dijadikan harta bercocok tanam bagi orang-orang biasa.
Setiap golongan akan digoda dengan harta-harta tadi.

Adapun wanita dan anak-anak akan menaklukkan setiap golongan (pedagang, raja, peternak dan petani) tadi.
Oleh karenanya Thawus menyatakan,

لَيْسَ يَكُوْنُ الإِنْسَانُ فِي شَيْءٍ أَضْعَفُ مِنْهُ فِي أَمْرِ النِّسَاءِ

“Tidaklah manusia itu begitu lemah selain karena perkara (godaan) perempuan.”

Bani Israil Hancur Gara-Gara Godaan Wanita

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِى إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِى النِّسَاءِ

“Waspadalah dengan dunia, begitu pula dengan godaan wanita. Karena cobaan yang menimpa Bani Israil pertama kalinya adalah karena sebab godaan wanita.” (HR. Muslim no.2742).

Godaan Wanita, Godaan Paling Berat

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا تَرَكْتُ بَعْدِى فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Aku tidak meninggalkan satu godaan pun yang lebih membahayakan para lelaki selain fitnah wanita.” (HR. Bukhari no.5096 dan Muslim no.2740)

Tundukkan Pandangan Bagi yang “Suka Nongkrong” di Pinggir Jalan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang duduk-duduk di tengah jalan karena duduk semacam ini dapat mengantarkan pada pandangan yang haram.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ » . فَقَالُوا مَا لَنَا بُدٌّ ، إِنَّمَا هِىَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا . قَالَ « فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلاَّ الْمَجَالِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهَا » قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ قَالَ « غَضُّ الْبَصَرِ ، وَكَفُّ الأَذَى ، وَرَدُّ السَّلاَمِ ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ ، وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ »

“Janganlah kalian duduk-duduk di pinggir jalan”. Mereka bertanya, “Itu kebiasaan kami yang sudah biasa kami lakukan karena itu menjadi majelis tempat kami bercengkrama”. Beliau bersabda, “Jika kalian tidak mau meninggalkan majelis seperti itu maka tunaikanlah hak jalan tersebut”. Mereka bertanya, “Apa hak jalan itu?” Beliau menjawab, “Menundukkan pandangan, menyingkirkan gangguan di jalan, menjawab salam dan amar ma’ruf nahi munkar”. (HR. Bukhari no.2465)

Zina Mata, Waspadalah!

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim no.6925).

Jangan Teruskan Pandangan Tidak Sengaja

Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.

“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai pandangan yang tidak di sengaja. Maka beliau memerintahkanku supaya memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no.2159)

Semoga Allah senantiasa menjaga pandangan kita dari setiap hal yang diharamkan..

Aamiin Yaa Allah Yaa Mujibas Saailiin..

"Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang manfaat"

BUTUH BEKAL UNTUK KE KAMPUNG AKHIRAT

06.41.00 Posted by Admin No comments




Assalamu'alaikum, Pagi Akhi Ukhti'..

Kita semua butuh bekal, bukan bertujuan bersaing di dunia. Bekal ini lebih kita butuh untuk menuju alam akhirat.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang pundaknya, lalu berkata,

كُنْ فِى الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ ، أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ

“Hiduplah kalian di dunia seakan-akan seperti orang asing, atau seperti seorang pengembara.”

Ibnu ‘Umar lantas berkata,

إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ

“Jika engkau berada di petang hari, janganlah tunggu sampai datang pagi. Jika engkau berada di pagi hari, janganlah tunggu sampai datang petang. Manfaatkanlah waktu sehatmu sebelum datang sakitmu. Manfaatkanlah pula waktu hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Bukhari no.6416)

Hadits di atas mengajarkan bahwa dunia ini bukanlah tempat kita menetap dan bukanlah negeri kita sesungguhnya. Dari sini seharusnya setiap mukmin berada pada salah satu dari dua keadaan berikut..

Pertama: Hidup seperti orang asing yang tinggal di negeri asing.

Yang ia lakukan: Hatinya tidak bergantung pada dunia. Hatinya bergantung pada kampung sesungguhnya yang nanti ia akan kembali, yaitu negeri akhirat.
Mukim di dunia hanya untuk menyiapkan bekal menuju ke kampung akhirat.
Tidak pernah bersaing yaitu antara orang asing tadi dan penduduk asli (penggila dunia).
Tidak pernah gelisah ketika ada yang mendapatkan dunia. Itulah orang asing.

Al Hasan Al Bashri berkata,

المؤْمِنُ فِي الدُّنْيَا كَالغَرِيْبِ لاَ يَجْزَع مِنْ ذُلِّهَا ، وَلاَ يُنَافِسُ فِي عِزِّهَا ، لَهُ شَأْنٌ ، وَلِلنَّاسِ شَأْنٌ

“Seorang mukmin di dunia seperti orang asing. Tidak pernah gelisah terhadap orang yang mendapatkan dunia, tidak pernah saling berlomba dengan penggila dunia. Penggila dunia memiliki urusan sendiri, orang asing yang ingin kembali ke kampung akhirat punya urusan sendiri.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam 2: 379)

‘Atho’ As-Salimi berkata dalam doanya,

اللهمَّ ارْحَمْ فِي الدُّنْيَا غُرْبَتِي ، وَارْحَمْ فِي القَبْرِ وَحْشَتِي ، وَارْحَمْ مَوْقِفِي غَداً بَيْنَ يَدَيْكَ

“Ya Allah, rahmatilah keasinganku di dunia, selamatkanlah dari kesedihan di kuburku, rahmatilah aku ketika aku berdiri di hadapan-Mu kelak.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam 2: 379)

Orang yang tergila dengan dunia, lupa akan akhirat, gambarannya seperti yang disampaikan oleh Yahya bin Mu’adz Ar-Razi,

الدُّنْيَا خَمْرُ الشَّيْطَان ، مَنْ سَكِرَ مِنْهَا لَمْ يُفِقْ إِلاَّ فِي عَسْكَرِ الموْتَى نَادِماً مَعَ الخَاسِرِيْنَ

“Dunia adalah khamarnya setan. Siapa yang mabuk, barulah tersadarkan diri ketika kematian (yang gelap) itu datang. Nantinya ia akan menyesal bersama dengan orang-orang yang merugi.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam 2: 381)

Kedua: Hidup seperti seorang musafir atau pengembara yang tidak punya niatan untuk menetap sama sekali. Orang seperti hanya ingin terus menelusuri jalan hingga sampai pada ujung akhirnya, yaitu kematian.

Yang ia lakukan: Terus mencari bekal untuk safarnya supaya bisa sampai di ujung perjalanan.
Tidak punya keinginan untuk memperbanyak kesenangan dunia karena ingin sibuk terus menambah bekal.

Cobalah ambil pelajaran dari perkataan Al-Fudhail bin ‘Iyadh. Beliau pernah mengatakan pada seseorang,

كَمْ أَتَتْ عَلَيْكَ ؟

“Berapa umur yang telah kau lewati?”
Ia menjawab,

سِتُّوْنَ سَنَةً

“Enam puluh tahun.”

Fudhail menyatakan,

فَأَنْتَ مُنْذُ سِتِّيْنَ سَنَةً تَسِيْرُ إِلَى رَبِّكَ يُوشِكُ أَنْ تَبلُغَ

“Selama 60 tahun ini engkau sedang berjalan menuju Rabbmu dan sebentar lagi engkau akan sampai.”

Orang itu menjawab,

إِنّا للهِ وَإنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ

“Segala sesuatu milik Allah dan akan kembali pada Allah.”

Fudhail balik bertanya,

أَتَعْرِفُ تَفْسِيْرَهُ

“Apa engkau tahu arti kalimat yang engkau ucapkan tersebut?”

Fudhail lantas melanjutkan, harusnya engkau katakan pula,

أَنَا للهِ عَبْدٌ وَإِلَيْهِ رَاجِعٌ ، فَمَنْ عَلِمَ أَنَّهُ للهِ عَبْدٌ ، وَأَنَّهُ إِلَيْهِ رَاجِعٌ ، فَلْيَعْلَمْ أَنَّهُ مَوْقُوْفٌ ، وَمَنْ عَلِمَ أَنَّهُ مَوْقُوْفٌ ، فَلْيَعْلَمْ أَنَّهُ مَسْؤُوْلٌ ، وَمَنْ عَلِمَ أَنَّهُ مَسْؤُوْلٌ ، فَلْيُعِدَّ لِلسُّؤَالِ جَوَاباً

“Sesungguhnya aku adalah hamba di sisi Allah dan akan kembali pada-Nya. Siapa saja yang mengetahui Allah itu memiliki hamba dan akan kembali pada-Nya, maka tentu ia tahu bahwa hidupnya akan berakhir. Kalau tahu hidupnya akan berakhir, tentu ia tahu bahwa ia akan ditanya. Kalau ia tahu akan ditanya, maka ia tentu akan mempersiapkan jawaban dari pertanyaan yang ada. ”

Orang itu bertanya pada Fudhail,

فَمَا الحِيْلَةُ ؟

“Adakah alasan yang bisa dibuat-buat untuk melepaskan diri?”

Fudhail menjawab,

يَسِيْرَةٌ

“Itu mudah.”

Ia balik bertanya,

مَا هِيَ ؟

“Apa itu?”

Fudhail menjawab,

تُحْسِنُ فِيْمَا بَقِيَ يُغْفَرُ لَكَ مَا مَضَى فَإِنّكَ إِنْ أَسَأْتَ فِيْمَا بَقِيَ ، أُخِذْتَ بِمَا مَضَى وَبِمَا بَقِيَ

“Hendaklah beramal baik di sisa umur yang ada, maka akan diampuni kesalahan-kesalahanmu yang terdahulu. Karena jika engkau masih berbuat jelek di sisa umurmu, engkau akan disiksa karena kesalahanmu yang dulu dan sisa umurmu yang ada.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam 2: 383)

Nasihat Ibnu ‘Umar: Jangan Panjang Angan-Angan

Adapun wasiat dari Ibnu ‘Umar diambil dari hadits, yang berisi nasihat supaya kita tidak berpanjang angan-angan. Jika kita berada di petang hari, maka janganlah menunggu sampai pagi hari. Jika kita berada di pagi hari, maka janganlah menunggu sampai petang hari. Bahkan kita harus merasa bahwa bisa jadi ajal (kematian) menjemput kita sebelum itu.

Kita dapat ambil pelajaran dari apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad tentang maksud zuhud,

أيُّ شيءٍ الزُّهد في الدنيا ؟ قال : قِصَرُ الأمل ، من إذا أصبحَ ، قال : لا أُمسي ، قال : وهكذا قال سفيان. قيل لأبي عبد الله : بأيِّ شيء نستعين على قِصَرِ الأمل ؟ قال : ما ندري إنَّما هو توفيق

“Bagaimana cara zuhud terhadap dunia?” Jawab Imam Ahmad, “Tidak berpanjang angan-angan. Ketika berada di pagi hari, maka ia tidak berkata, “Ahh … Tunggu sore saja.”
Sufyan juga pernah bertanya pada Imam Ahmad, “Bagaimana agar kita tidak panjang angan-angan?” Jawab beliau, “Bisa seperti hanya taufik dari Allah.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam 2: 384)

Semoga kita tidak jadi seperti yang mengatakan …

رَبِّ ارْجِعُونِ  لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ

“(Ketika datang kematian pada seseorang, lalu ia berkata): Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.” (QS. Al Mu’minuun: 99-100).

Semoga Allah Ta'ala Memudahkan kita semua untuk mempersiapkan bekal amalan shalih untuk menuju kampung akhirat nanti..

Aamiin Yaa Allah Yaa Mujibas Saailiin..

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad..

"Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang manfaat"

PAKAIAN TAQWA SEBAGAI BEKAL

06.16.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum, Sore Akhi Ukhti'..

Pakaian takwa itulah yang terbaik dibanding pakaian lahiriyah.
Allah Ta’ala berfirman,

يَا بَنِي آَدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآَتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik.” (QS. Al-A’raf: 26).

Syech Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa Pakaian itu ada dua macam, yaitu pakaian lahiriyah dan pakaian batin. Pakaian lahiriyah yaitu yang menutupi aurat dan ini sifatnya primer. Termasuk pakaian lahir juga adalah pakaian perhiasan yang disebut dalam ayat di atas dengan riisya’ yang berarti perhiasan atau penyempurna.
Pakaian batin sendiri adalah pakaian takwa. Pakaian ini lebih baik daripada pakaian lahir yang nampak.

Setelah menyebutkan dua penjelasan di atas, Syech Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan, “Kita dapati bahwa orang-orang begitu semangat sekali memperhatikan bersihnya pakaiannya yang nampak. Jika ada kotoran yang menempel di pakaiannya, maka ia akan mencucinya dengan air dan sabun sesuai kemampuannya. Namun untuk pakaian takwa, sedikit sekali yang mau memperhatikannya. Kalau pakaian batin tersebut kotor, tidak ada yang ambil peduli. Ingatlah, pakaian takwa itulah yang lebih baik. Itu menunjukkan seharusnya perhatian kita lebih tinggi pada pakaian takwa dibanding badan dan pakaian lahir yang nampak. Pakaian takwa itulah yang lebih penting.” (Syarh Riyadh Ash Shalihin 4: 266).

Dari penjelasan di atas, kita lihat bahwa yang mesti diperhatikan adalah pakaian takwa.
Bahkan pakaian takwa inilah yang jadi bekal terbaik. Allah Ta’ala berfirman,

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197)

Syech ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, “Bekal yang sebenarnya yang tetap mesti ada di dunia dan di akhirat adalah bekal takwa, ini adalah bekal yang mesti dibawa untuk negeri akhirat yang kekal abadi. Bekal ini dibutuhkan untuk kehidupan sempurna yang penuh kelezatan di akhirat dan negeri yang kekal abadi selamanya. Siapa saja yang meninggalkan bekal ini, perjalanannya akan terputus dan akan mendapatkan berbagai kesulitan, bahkan ia tak bisa sampai pada negeri orang yang bertakwa (yaitu surga). Inilah pujian bagi yang bertakwa.” (Taisir Al-Karim Ar Rahman hlm.92)

Al Qasimi berkata, “Persiapkanlah ketakwaan untuk hari kiamat (yaumul ma’ad). Karena sudah jadi kepastian bahwa orang yang bersafar di dunia mesti memiliki bekal. Musafir tersebut membutuhkan makan, minum dan kendaraan. Sama halnya dengan safar dunia menuju akhirat juga butuh bekal. Bekalnya adalah dengan ketakwaan pada Allah, amal taat dan menjauhi berbagai larangan Allah. Bekal ini tentu lebih utama dari bekal saat safar di dunia. Bekal dunia tadi hanya memenuhi keinginan jiwa dan nafsu syahwat. Sedangkan bekal akhirat (takwa) akan mengantarkan pada kehidupan abadi di akhirat.” (Mahasin At Ta’wil 3: 153. Dinukil dari Kunuz Riyadh Ash Shalihin 10: 125)

Tak masalah memang memiliki baju baru karena asalnya mubah. Namun jangan melalaikan dari menyiapkan bekal hakiki untuk akhirat yaitu takwa..

"Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang manfaat"

ISTIQAMAHLAH, JIKA TIDAK, MENDEKATILAH IDEAL

06.08.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum, Siang Akhi Ukhti'..

Dalam istiqamah kita butuh menggapai derajat yang tinggi. Kalau tidak bisa digapai, maka mendetilah yang ideal..

Istiqamah berarti kita menempuh jalan yang lurus, tidak condong ke kanan atau ke kiri. Istiqamah ini sangat kita butuhkan. Tidak sedikit ada yang berada di atas iman, malah ia condong pada kekafiran.

Seorang mukmin sudah sepatutnya terus meminta pada Allah keistiqamahan. Itulah yang kita pinta dalam shalat minimal 17 kali dalam sehari lewat doa,

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6)

“Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus.” (QS. Al Fatihah: 6)

Ini pertanda kita butuh untuk terus istiqamah. Namun tentu saja dalam istiqamah ada saja kekurangan. Makanya Allah perintahkan untuk mengiringi istiqamah itu dengan istighfar,

فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ

“Maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepadaNya.” (QS. Fushshilat: 6).

Ini menunjukkan bahwa dalam menempuh jalan yang lurus dan istiqamah di atasnya pasti ada kekurangan.
Dari Abu Dzar dan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan ikutilah setiap kejelekan dengan kebaikan, niscaya kejelekan tersebut akan terhapus dengan kebaikan yang dilakukan. Lalu berakhlaklah pada manusia dengan akhlak yang mulia.” (HR. Tirmidzi no.1987; Ahmad 5: 153. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Hadits ini juga menunjukkan bahwa dalam istiqamah pasti ada kekurangan.
Kalau tidak bisa ideal, baiknya tetap berusaha mendekati yang ideal. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَدِّدُوا وَقَارِبُوا

“Istiqamahlah (dalam perkataan, amalan dan niat). Kalau tidak mampu ideal, dekatilah yang ideal.” (HR. Bukhari no.6467 dan Muslim no.2818)

Yang bisa dicapai oleh manusia adalah beristiqamahlah (yang ideal), kalau tidak mampu, maka mendekatilah. Jadi ada dua keadaan seperti itu yang bisa kita raih.

Semoga Allah Ta'ala senantiasa memberikan kita semua kemudahan dan kekuatan agar bisa selalu tetap istiqamah di jalan-Nya..

Aamiin Yaa Allah Yaa Mujibas Saailiin..

"Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang manfaat"

MERASA PENUH KEKURANGAN

06.00.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum, Pagi Akhi Ukhti'..

Setiap orang yang beramal shalih, harus memiliki sifat ini, sifat terus merasa penuh kekurangan, sehingga bisa terus semangat dalam memperbaiki amalan.

Ada pelajaran yang dapat kita ambil dari doa lailatul qadar berikut ini..

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَىُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ « قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى »

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu jika saja ada suatu hari yang aku tahu bahwa malam tersebut adalah lailatul qadar, lantas apa do’a yang mesti kuucapkan?” 
Jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berdo’alah:
Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni
(Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai orang yang meminta maaf, karenanya maafkanlah aku).” (HR. Tirmidzi no.3513; Ibnu Majah no.3850, Abu ‘Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Hadits ini dibawakan oleh Imam Tirmidzi dalam bab “Keutamaan meminta maaf dan ampunan pada Allah”.
Maksud dari “innaka ‘afuwwun” adalah Engkau (Ya Allah) yang banyak memberi maaf’. Demikian kata penulis kitab Tuhfatul Ahwadzi.
Para ulama menyimpulkan dari hadits di atas tentang anjuran memperbanyak do’a “Allahumma innaka ‘afuwwun …” pada malam yang diharap terdapat lailatul qadar. Do’a di atas begitu jaami’ (komplit dan syarat makna) walau terlihat singkat.

Do’a tersebut mengandung ketundukan hamba pada Allah dan pernyataan bahwa dia tidak bisa luput dari dosa. Namun sekali lagi meminta ampunan seperti ini tidaklah terbatas pada bulan Ramadhan saja.
Al Baihaqi rahimahullah berkata, “Meminta maaf atas kesalahan dianjurkan setiap waktu dan tidak khusus di malam lailatul qadar saja.” (Fadha-il Al Awqat hlm.258).

Ibnu Rajab rahimahullah juga memberi penjelasan menarik,

و إنما أمر بسؤال العفو في ليلة القدر بعد الإجتهاد في الأعمال فيها و في ليالي العشر لأن العارفين يجتهدون في الأعمال ثم لا يرون لأنفسهم عملا صالحا و لا حالا و لا مقالا فيرجعون إلى سؤال العفو كحال المذنب المقصر

“Dianjurkan banyak meminta maaf atau ampunan pada Allah di malam lailatul qadar setelah sebelumnya giat beramal di malam-malam Ramadhan dan juga di sepuluh malam terakhir. Karena orang yang arif adalah yang bersungguh-sungguh dalam beramal, namun dia masih menganggap bahwa amalan yang ia lakukan bukanlah amalan shalih, keadaan yang baik atau ucapan yang shalih pula. Oleh karenanya, ia banyak meminta ampun pada Allah seperti orang yang penuh kekurangan karena dosa.”

Yahya bin Mu’adz pernah berkata,

لَيْسَ بِعَارِفٍ مَنْ لَمْ يَكُنْ غَايَةُ أَمْلِهِ مِنَ اللهِ العَفْوَ

“Bukanlah orang yang arif jika tujuan angannya tidak pernah mengharap ampunan dari Allah.” (Lathaif Al Ma’arif hal.362-363).

Lihatlah bagaimana Ibnu Mas’ud, sahabat yang mulia, namun masih menganggap dirinya itu penuh kekurangan.
Ibnu Mas’ud pernah berkata, “Jika kalian mengetahui ‘aibku, tentu tidak ada dua orang dari kalian yang akan mengikutiku”. (Dinukil dari Ta’thir Al Anfas hlm.317)

Semoga kita bisa mengambil pelajaran dan semoga kita terus merasa penuh kekurangan sehingga terus berusaha memperbagus amalan dan banyak meminta ampunan pada Allah..

Wallahu Waliyyut Taufiq..

"Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang manfaat"