Minggu, 27 November 2016

RABU KASAN (REBO WEKASAN)

00.44.00 Posted by Admin No comments


Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Melanjutkan pertanyaan dari Akhi Hery Sutrisno dari Kelapa Dua Depok, yang menanyakan mengenai Rabu Kasan, berikut penjelasannya'..

Salah satu dari tradisi yang sudah mengakar di masyarakat kita adalah rangkaian ritual yang populer dengan sebutan “REBO KASAN“, yaitu ritual yang dilaksanakan sekali dalam satu tahun setiap hari Rabu akhir pada bulan Shafar, yaitu bulan kedua dari penanggalan Hijriyah.
Respon yang diberikan pada tradisi ini juga terdapat variasi diantara tokoh maupun kelompok masyarakat. Mereka yang beraliansi kepaham Wahabi dengan slogan pembersihan islam dari segala pengaruh tradisi dan budaya yang mereka anggap melanggar ajaran, sudah pasti menolak keras semua bentuk ritual rebo Kasan, karena jelas tidak mungkin di masyarakat arab, terlebih pada zaman Nabi ada istilah Rebo Kasan. Dalam penolakanya kelompok ini selalu membawa yel² dan atribut kefahaman mereka dari bendera bid’ah, syirik, khurafat dan semacamnya.

Sementara kelompok yang lain ada yang cenderung menerima tanpa tela'ah mendalam atas segala bentuk tradisi, khususnya masyarakat awam yang telah melebur dalam ritual agama seperti halnya Rebo Kasan, Sepuluh Suro dan lain sebagainya. Upaya² pembenaranpun dilakukan dengan berbagai cara dari yang konfensional dengan menggunakan dogma agama sampai argumen² yang terkadang sulit dipahami oleh masyarakat awam. Dalam hal ini kelompok islam kejawen ada didalam dan diluar keduanya. Adapula sekelompok yang mencoba mendudukkan persoalan pada porsinya, Karena tidak mungkin semua tradisi itu bid’ah namun tidak pula semua tradisi dibenarkan, disinilah kelompok Ahlussunnah yang tergabung dalam NU.

Sebenarnya Apa Sich Rebo Kasan Itu'?

Istilah Rebo Kasan sendiri terjadi selisih pendapat. Sebagian mengasumsikan kata kasan merupakan penggalan dari kata Pungkasan yang berarti akhir dengan mambuang suku kata depan menjadi kasan, Teori  ini lebih mudah dimengerti. sebab Rebo Kasan adalah hari rabu yang terakhir dari bulan Sapar atau Shofar, bulan kedua dari penanggalan hijriyyah.

Sebagian yang lain memahami kata Kasan merupakan penggalan dari kata Wekasan yang dalam Bahasa Indonesia mempunyai arti Pesanan, Berangkat dari teori ini istilah  Rebo Kasan berarti hari Rebo yang spesial tidak seperti hari² Rebo yang lain.  Seperti barang pesanan yang dibikin secara husus dan tidak dijual kepada semua orang. Kesimpulan ini bisa dipahami oleh karena Rebo Kasan memang hanya terjadi sekali dalam setahun dimana para sesepuh manti² (wekas) agar hati² pada hari itu.

Lalu Bagaimanakah Asal Muasal Ritual Rebo Kasan Itu?

Disebutkan dalam banyak sumber bahwa salah seorang Waliyullah yang telah mencapai makom kasyaf (mendapatkan ilmu tentang sesuatu yang sulit dimengerti orang lain seperti hal² gaib) mengatakan bahwa dalam setiap tahun Allah SWT menurunkan bala’ sebanyak 320.000 (tiga ratus dua puluh ribu) macam dalam satu malam. Malam itu bertepatan setiap malam Rebo akhir dari bulan Shofar.

Oleh karena itu Wali tersebut memberi nasehat mengajak pada umat untuk bertaqorrub pada Allah seraya meminta agar dijauhkan dari semua bala’ yang diturunkan pada hari itu. Lebih jauh beliau memberi tuntunan tatacara bertaqorrub dengan rangkaian do’a² yang dalam istilah jawa lebih dikenal sebagai do’a tolak bala. Pada intinya rangkaian doa itu diberikan oleh para wali² Allah sebagai upaya memohon kepada Alloh untuk diberikan keselamatan dan di jauhkan dari semua macam bala yang diturunkan pada hari itu. Tata cara dan bentuk do’a yang diberikan pun berbeda – beda dari satu guru keguru yang lain.

Inilah asal muasal ritual Rebo Kasan yang mengakar dan di lakukan oleh masyarakat dari generasi ke generasi.

Salah satu upaya untuk menolak bala itu di antara ritual tersebut adalah dengan mengerjakan shalat empat raka’at yang diistilahkan dengan _shalat sunnah lidaf’il bala’ (shalat sunnah untuk menolak bala’)_ yang dikerjakan pada waktu dhuha atau setelah shalat isyraq (setelah terbit matahari) dengan satu kali salam.

Pada setiap raka’at membaca surat Al Fatihah kemudian surat Al Kautsar 17 kali, surat Al Ikhlas 50 kali, Al Mu’awwidzatain (surat Al Falaq dan surat An Nas) masing² satu kali. Ketika salam membaca sebanyak 360 kali ayat ke-21 dari surat Yusuf yang berbunyi:

وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ.

“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.”

Kemudian ditambah dengan Jauharatul Kamal tiga kali dan ditutup dengan bacaan (surat Ash-Shaffat ayat 180-182) berikut:

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.

Ritual ini kemudian dilanjutkan dengan memberikan sedekah kepada fakir miskin. Tidak cukup sampai di situ, dia juga harus membuat rajah² dengan model tulisan tertentu pada secarik kertas, kemudian dimasukkan ke dalam sumur, bak kamar mandi, atau tempat² penampungan air lainnya.

Barangsiapa yang pada hari itu melakukan ritual tersebut, maka dia akan terjaga dari segala bentuk musibah dan bencana yang turun ketika itu.

Pandangan Islam melihat tradisi Rebo Kasan

Untuk menyikapi masalah ini, kita perlu meninjau dari berbagai sudut pandang.

Pertama, rekomendasi sebagian ulama sufi (waliyullah) tersebut didasari pada ilham. Ilham adalah bisikan hati yang datangnya dari Allah. Menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh, ilham tidak dapat menjadi dasar hukum. Ilham tidak bisa melahirkan hukum wajib, sunnah, makruh, mubah, atau haram.

Kedua, ilham yang diterima para ulama tersebut tidak dalam rangka menghukumi melainkan hanya informasi dari “alam ghaib”. Jadi, anjuran beliau² tidak mengikat karena tidak berkaitan dengan hukum Syariat.

Ketiga, ilham yang diterima seorang wali tidak boleh diamalkan oleh orang lain (apalagi orang awam) sebelum dicocokkan dengan Al Qur’an dan Hadits. Jika sesuai dengan Al Qur’an dan Hadits, maka ilham tersebut dapat dipastikan kebenarannya. Jika bertentangan, maka ilham tersebut harus ditinggalkan.

Memang ada hadits dha’if yang menerangkan tentang Rabu terakhir di Bulan Shafar, yaitu:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. رواه وكيع في الغرر، وابن مردويه في التفسير، والخطيب البغدادي..

“Dari Ibnu Abbas ra, Nabi Saw bersabda: “Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya naas yang terus-menerus.” (HR. Waki’ dalam Al Ghurar, Ibnu Mardawaih dalam At Tafsir, dan Al Khathib Al Baghdadi).

Selain dha’if, hadits ini juga tidak berkaitan dengan hukum (wajib, halal, haram, dll), melainkan hanya bersifat peringatan (At Targhib Wat Tarhib).

Jadi kesimpulannya,
Tradisi Rabu Kasan (Rebo Wekasan) memang bukan bagian dari Syariat Islam, akan tetapi merupakan tradisi yang positif karena
(1). Menganjurkan shalat dan doa,
(2). Menganjurkan banyak bersedekah,
(3). Menghormati para wali yang mukasyafah (QS. Yunus : 62).
Karena itu, hukum ibadahnya sangat bergantung pada tujuan dan teknis pelaksanaan. Jika niat dan pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan syariat, maka hukumnya boleh. Tapi bila terjadi penyimpangan (baik dalam keyakinan maupun caranya), maka hukumya haram.

Bagi yang meyakini silahkan mengerjakan tapi harus sesuai aturan syariat dan tidak perlu mengajak siapapun. Bagi yang tidak meyakini tidak perlu mencela atau mencaci-maki.

Mengenai indikasi adanya kesialan pada akhir bulan Shafar, seperti peristiwa angin topan yang memusnahkan Kaum ‘Aad (QS. Al-Qamar: 18-20), maka itu hanya satu peristiwa saja dan tidak terjadi terus-menerus. Karena banyak peristiwa baik yang juga terjadi pada Rabu terakhir Bulan Shafar, seperti penemuan air Zamzam di Masjidil Haram, penemuan sumber air oleh Sunan Giri di Gresik, dll.

Kemudian, betapa banyak orang yang selamat (tidak tertimpa musibah) pada Hari Rabu terakhir bulan Shafar, meskipun mereka tidak shalat Rebo Kasan. Sebaliknya, betapa banyak musibah yang justru terjadi pada hari Kamis, Jum’at, Sabtu, dll (selain Rabu Kasan) dan juga pada bulan² selain Bulan Shafar. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya musibah atau malapetaka adalah urusan Allah, yang tentu saja berkorelasi dengan sebab² yang dibuat oleh manusia itu sendiri.

Mengenai cuaca ekstrim yang terjadi di bulan ini (Shafar), maka itu adalah siklus tahunan. Itu adalah fenomena alam yang bersifat alamiah (Sunnatullah) dan terjadi setiap tahun selama satu bulanan (bukan hanya terjadi pada Hari Rabu Kasan saja). Intinya, sebuah hari bernama “Rebo Kasan” tidak akan mampu membuat bencana apapun tanpa seizin Allah SWT. Wallahu a’lam..

Wallahu Waliyyut Taufiq'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

AMAL JARIYAH UNTUK PAK RAIS DAN PAK KAUM

00.34.00 Posted by Admin No comments



Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Di sebagian tempat ada yang disebut dengan Pak Kaum atau Pak Rais yang bisa mengurus masalah kematian di desa², mulai dari mentalkinkan, memandikan, mengafani, menyolatkan hingga menguburkan. Selama yang dikerjakan sesuai tuntunan, maka akan menjadi amal jariyah bagi Pak Kaum atau Pak Rais tadi.

Dari Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَكَتَمَ عَلَيْهِ غُفِرَ لَهُ أَرْبَعِيْنَ مَرَّةً, وَ مَنْ كَفَّنَ مَيِّتًا كَسَاهُ اللهُ مِنَ السُّنْدُسِ وَ إِسْتَبْرَقِ الْجَنَّةِ وَمَنْ حَفَرَ لَمَيِّتٍ قَبْرًا فَأَجَنَّهُ فِيْهِ أُجْرِيَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ كَأَجْرِ مَسْكَنٍ أَسْكَنَهُ إِلَيَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang memandikan jenazah dan ia menyembunyikan cacat jenazah tersebut, niscaya dosanya diampuni sebanyak 40 kali. Barangsiapa yang mengafani jenazah (mayit), niscaya Allah akan memakaikan kepadanya kain sutera yang halus dan tebal dari surga. Barangsiapa yang menggali kuburan untuk jenazah, dan dia memasukkannya ke dalam kuburan tersebut, maka dia akan diberi pahala seperti pahala membuatkan rumah, yang jenazah itu ditempatkan (di dalamnya) sampai hari kiamat.” (HR. Al Hakim 1: 354 dan 362, Al Baihaqi 3: 395. Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Muslim dan lafazhnya adalah dari Al Hakim. Syech Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no.3492 menyatakan bahwa hadits ini shahih).

Juga ada riwayat lainnya, dari Rafi’ bin Khadij, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَكَتَمَ عَلَيْهِ غَفَرَ اللهُ لَهُ أَرْبَعِيْنَ كَبِيْرَةٍ, وَ مَنْ حَفَرَ لأَخِيْهِ قَبْرًا حَتَّى يُجِنَّهُ فَكَأَنَّمَا أَسْكَنَهُ سَكَنًا حَتَّى يُبْعَثُ

“Barangsiapa yang memandikan jenazah dan dia menyembunyikan cacat jenazah tersebut, niscaya Allah mengampuni 40 dosa besar yang ada padanya. Barangsiapa yang membuat lubang kuburan untuk saudaranya, sampai ia memasukkannya kedalam kuburan itu maka seakan-akan ia membuatkan rumah baginya sampai ia dibangkitkan.” (HR. At Targhib wa At Tarhin karya Al Mundziri 4: 257 Majma’ Az Zawaid karya Al Haitsami 3: 24. Al Haitsami menyatakan bahwa perawi hadits ini shahih. Syech Al Albani menyatakan hadits ini syadz, menyelisihi riwayat yang lebih kuat).

Semoga Pak Rais dan Pak Kaum kita bisa menjalankan ajaran Rasul sehingga mendapatkan amal jariyah di atas..

Wallahu Waliyyut Taufiq'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

JIKA NON MUSLIM SEDEKAH, APA DAPAT PAHALA?

00.18.00 Posted by Admin No comments


Jika ada non muslim beri sedekah, apa akan mendapat pahala dan balasan akhirat?

Coba renungkan dua hadits berikut..

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أُمِّ مَعْبَدٍ حَائِطًا فَقَالَ يَا أُمَّ مَعْبَدٍ مَنْ غَرَسَ هَذَا النَّخْلَ أَ مُسْلِمٌ أَمْ كَافِرٌ فَقَالَتْ بَلْ مُسْلِمٌ قَالَ فَلاَ يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلاَ دَابَّةٌ وَلاَ طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasuki kebun Ummu Ma’bad, kemudian beliau bersabda, “Wahai Ummu Ma’bad, siapakah yang menanam kurma ini, seorang muslim atau seorang kafir?” Ummu Ma’bad berkata, “Seorang muslim.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu dimakan oleh manusia, hewan atau burung kecuali hal itu merupakan shadaqah untuknya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim no.1552)

Pada riwayat Muslim yang lain disebutkan,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلاَّ كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَمَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ مِنْهُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَتِ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَلاَ يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ

“Tidaklah seorang muslim menanam tanaman melaikan apa yang dimakan dari tanaman tersebut akan menjadi sedekah  baginya. Apa yang dicuri dari tanaman tersebut merupakan sedekahnya. Apa yang dimakan oleh binatang buas dari tanaman tersebut merupakan sedekahnya. Apa yang dimakan oleh seekor burung dari tanaman tersebut merupakan sedekahnya. Tidaklah dikurangi atau diambil oleh seseorang dari tanaman tersebut kecuali merupakan sedekahnya.” (HR. Muslim no.1552)

Imam Nawawi rahimahullah berkata mengomentari hadits di atas, “Di dalam hadits tersebut terdapat keutamaan menanam dan mengolah tanah, dan bahwa pahala orang yang menanam tanaman itu mengalir terus selagi yang ditanam atau yang berasal darinya itu masih ada sampai hari kiamat.”

Hal ini berbeda dengan sedekah jariyah. Tanaman yang disebut di atas tidak dimaksudkan (diniatkan) sebagai sedekah jariyah. Lihatlah tanpa keinginan dari pemiliknya atau ahli warisnya, tetap jadi amal yang pahalanya terus mengalir.
Juga kata Imam Nawawi hadits ini menunjukkan bahwa pekerjaan yang terbaik adalah bertani. Juga kata beliau bahwa pahala dan balasan akhirat hanya ditujukan khusus untuk kaum muslimin.
Faedah lainnya lagi, seseorang dapat pahala ketika sesuatu yang miliki dicuri, dimakan oleh binatang ternak atau burung, dan semacamnya. (Syarh Shahih Muslim 10: 195)

Kesimpulan dari Imam Nawawi dari perkataan di atas:

PAHALA DAN BALASAN AKHIRAT
hanya ditujukan khusus untuk kaum muslimin (bukan orang kafir).

Wallahu Waliyyut Taufiq'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..