Kamis, 10 November 2016

HUKUM TIDUR PAGI SETELAH SUBUH

01.54.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Bagaimana hukum tidur pagi, yaitu setelah shalat Shubuh lanjut tidur kembali?

Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah,

وَمِنَ المكْرُوْهِ عِنْدَهُمْ : النَّوْمُ بَيْنَ صَلاَةِ الصُّبْحِ وَطُلُوْعِ الشَّمْسِ فَإِنَّهُ وَقْتٌ غَنِيْمَةٌ

“Di antara hal yang makruh menurut para ulama adalah tidur setelah shalat Shubuh hingga matahari terbit karena waktu tersebut adalah waktu memanen ghonimah (waktu meraih kebaikan yang banyak.” (Madarijus Salikin 1: 369)

Dari ‘Urwah bin Zubair, beliau mengatakan,

كان الزبير ينهى بنيه عن التصبح ( وهو النّوم في الصّباح )

“Dulu Zubair melarang anak-anaknya untuk tidur di waktu pagi.”

Urwah mengatakan,

إني لأسمع أن الرجل يتصبح فأزهد فيه

“Sungguh jika aku mendengar bahwa seorang itu tidur di waktu pagi maka aku pun merasa tidak suka dengan dirinya”. (HR. Ibnu Abi Syaibah 5: 222 no.25442 dengan sanad yang shahih).

Yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah setelah melaksanakan shalat subuh, mereka duduk di masjid hingga matahari terbit.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mendoakan waktu pagi sebagai waktu yang penuh keberkahan.

اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا

“Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.” (HR. Abu Daud no.2606, Ibnu Majah no.2236 dan Tirmidzi no.1212. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Berdasarkan hal di atas, sebagian ulama salaf tidak menyukai tidur setelah shalat subuh.

Kesimpulannya, yang paling afdhol adalah menggunakan waktu pagi untuk aktivitas yang bermanfaat untuk dunia ataupun untuk urusan akhirat.
Syech Muhammad Shalih Al Munajjid dalam Fatawanya berkata, “Namun jika ada seorang yang memilih untuk tidur di setelah shalat Shubuh agar bisa bekerja dengan penuh vitalitas maka hukumnya adalah tidak mengapa, terutama jika tidak memungkinkan bagi orang tersebut untuk tidur siang dan hanya mungkin tidur di waktu pagi.” (Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no.2063)

Wallahu Waliyyut Taufiq'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

DOA KETIKA DIRUNDUNG DUKA

01.46.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Doa ini sangat bermanfaat dan baik diamalkan oleh orang yang sedang dirundung duka..

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada Fatimah (puterinya), “Apa yang menghalangimu untuk mendengar wasiatku atau yang kuingatkan padamu setiap pagi dan petang yaitu ucapkanlah:

يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ أَبَدًا

“Ya hayyu ya qoyyum bi rahmatika astaghiits, wa ash-lihlii sya’nii kullahu wa laa takilnii ilaa nafsii thorfata ‘ainin abadan..”

Artinya:
Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri tidak butuh segala sesuatu, dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekali pun sekejap mata tanpa mendapat pertolongan dari-Mu selamanya..” (HR. Ibnu As Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no.46, An Nasai dalam Al Kubro 381: 570, Al Bazzar dalam musnadnya 4/ 25/ 3107, Al Hakim 1: 545. Sanad hadits ini hasan sebagaimana dikatakan oleh Syech Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no.227).

Ada juga doa yang lafazhnya hampir mirip dengan lafazh di atas dari hadits Abu Bakroh radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دَعَوَاتُ الْمَكْرُوبِ اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلاَ تَكِلْنِى إِلَى نَفْسِى طَرْفَةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِى شَأْنِى كُلَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ

“Doa orang yang dirundung duka: Allahumma rahmataka arjuu fa laa takilnii ilaa nafsii thorfata ‘ainin wa ash-lihlii sya’nii kullahu laa ilaha illa anta.."

Artinya:
"Ya Allah, dengan rahmat-Mu, aku berharap, janganlah Engkau sandarkan urusanku pada diriku walau sekejap mata, perbaikilah segala urusanku seluruhnya, tidak ada ilah yang berhak disembah selain Engkau..” (HR. Abu Daud no.5090, Ahmad 5: 42. Syech Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan karena mengingat adanya penguat).

Doa di atas adalah doa yang luar biasa yang di dalamnya berisi tahqiqul ‘ubudiyah yaitu perealisasian penghambaan pada Allah. Di dalamnya juga terdapat bentuk tawasul pada Allah lewat nama dan sifat-Nya.

Diawali Tawassul

Hamba sangat menggantungkan diri, berharap pertolongan selamanya pada Allah yang berdiri sendiri dan tidak bergantung pada makhluk-Nya. Dalam doa itu berisi permintaan tolong dari suatu musibah dengan tawassul pada sifat rahmat Allah yang meliputi segala sesuatu. Yang diharap adalah kebahagiaan dunia dan akhirat.

Diperbaiki Segala Urusan

Lalu setelah tawasul seperti itu, di dalamnya berisi permintaan untuk diperbaiki segala urusan. Segala urusan tersebut mencakup urusan di rumah, problema rumah tangga, urusan dengan tetangga dan sahabat, urusan dalam pekerjaan dan studi. Termasuk di dalamnya pula diperbaiki keadaan diri, diperbaiki hati dan kesehatan serta segala yang berkaitan dengan diri kita. Yang kita minta pada Allah adalah perbaikan dan keselamatan.

Kemudahan Dari Allah

Semua kemudahan itu adalah karunia Allah, bukan usaha dan kerja keras hamba, bukan pula karena kedudukan hamba yang mulia. Karenanya di akhir do’a ditutup dengan bentuk pasrah dan butuh pada Allah yang sempurna dengan ucapan _“wa laa takilnii ilaa nafsii thorfata ‘ainin”,_ janganlah sandarkan urusan tersebut pada diriku walau sekejap mata. Maksudnya adalah janganlah urusan tersebut disandarkan pada diri yang lemah ini walau sekejap mata. Berilah terus keselamatan selamanya, begitu pula berilah pertolongan dengan kekuatan dari Allah. Karena siapa yang bertawakkal pada Allah, maka Dia akan memudahkan urusannya. Siapa yang meminta tolong pada Allah, Dia akan beri pertolongan. Setiap hamba pasti selalu butuh pada Allah, tidak bisa lepas dari-Nya walau sekejap mata.

Al Munawi berkata untuk penjelasan hadits doa ketika dirundung duka, “Siapa yang mentauhidkan Allah dan pasrah pada-Nya, maka ia akan dihilangkan berbagai kesulitan di dunia dan akan meraih rahmat serta akan ditinggikan derajat di akhirat.” (Faidul Qadir, 3: 526).

Ringkasnya, doa yang ane sebutkan dalam dua versi di atas adalah bagian dari dzikir pagi petang dan bisa mengangkat berbagai kesedihan dan kesulitan orang yang dirundung duka. Silakan diamalkan..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu dan amalan yang bermanfaat'..

BILA SALAM DI UCAPKAN UNTUK SUATU ROMBONGAN

01.40.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Bagaimana bila ucapan salam diucapkan untuk suatu rombongan, jamaah atau orang banyak?

Di saat kita berada di majelis, datang seorang hadirin mengucapkan salam kepada kita dan orang² yang hadir di majelis tersebut, Apakah wajib bagi setiap orang yang ada di mejelis tersebut untuk menjawab salam?/ Ataukah bila sudah ada salah seorang jamaah yang menjawab salam maka kewajiban menjawab salam bagi yang lain telah gugur?

Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Sebagian menyatakan bahwa wajib atas setiap orang yang ada dalam majelis tersebut untuk menjawab salam (fardu ‘ain). Mereka beralasan dengan keumuman dalil yang menyatakan wajibnya menjawab salam, seperti firman Allah ta’ala,

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (QS. An-Nisa: 86)

Di antara ulama yang memegang pendapat ini adalah Abu Yusuf sahabat Imam Abu Hanifah rahimahumallah, sebagaimana dinukil oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam kitab beliau At Tamhiid (5/288).
Begitu pula Imam Ath-Thahawi rahimahullah, beliau juga memilih pendapat ini. (Tafsir Al Qurtubi 8/258)

Adapun mayoritas ulama (jumhur ulama) menyatakan bahwa hukum menjawab salam bagi mereka yang berada dalam suatu rombongan atau majelis adalah _fardu kifayah,_ bila sudah ada salah seorang yang ada di majelis tersebut yang menjawab salam, maka kewajiban menjawab salam bagi yang lainnya telah gugur.
Mereka beralasan dengan sabda Nabi shallallahu’alaibi wa sallam,

يُجْزِئُ عَنِ الْجَمَاعَةِ إِذَا مَرُّوا أَنْ يُسَلِّمَ أَحَدُهُمْ وَيُجْزِئُ عَنِ الْجُلُوسِ أَنْ يَرُدَّ أَحَدُهُمْ

“Sudah cukup bagi jama’ah (sekelompok orang), jika mereka lewat, maka salah seorang dari mereka memberi salam dan sudah cukup salah seorang dari sekelompok orang yang duduk membalas salam tersebut.” (HR. Abu Daud dan Baihaqi)

Abu Yusuf, Imam Al Qurtubi dan ulama lainnya yang sependapat dengan mereka menilai bahwa hadits ini statusnya dha’if, karena di antara perawinya ada yang bernama Sa’id bin Khalid Al Khaza’i Al Madani, para ulama hadits menilainya dho’if. Oleh karena itu mereka tidak menjadikan hadits ini sebagai hujah.
Mereka kembalikan permasalahan ini pada hukum asal, yaitu wajib atas setiap orang yang diucapkan salam kepadanya untuk menjawab salam.

Pilih Pendapat Yang Mana?

Memang benar hadits tersebut sanadnya dha’if. Namun para ulama menjelaskan bahwa terdapat jalur² sanad lainnya (syawahid) yang menguatkan status sanad hadits tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam kitab beliau Fathul Baari. Syech Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah (ulama pakar hadits masa kini) menilainya shahih, pemaparan beliau bisa kita jumpai dalam kitab Al Kalim At Tahoyyib hadits no.200 dan Shahih Sunan Abi Dawud hadis no.5210. Sehingga hadits tersebut bisa dijadikan landasan hukum.

Oleh karena itu pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat ulama di atas adalah pendapatnya jumhur (mayoritas) ulama, yang menyatakan bahwa menjawab salam bagi orang yang ada pada suatu rombongan atau majelis adalah fardu kifayah..

Sebagaimana seorang bila ia hendak memberi salam kepada orang² yang ada di suatu majelis, ia tidak perlu mengulangi salamnya sebanyak orang yang ada di majelis tersebut. Demikian pula tidak diwajibkan atas setiap orang yang ada di majelis tersebut untuk menjawab salam. Akan tetapi bila sudah ada salah seorang dalam majelis tersebut yang menjawab salam, maka kewajiban atas yang lainnya gugur. Demikian penjelasan Ibnu Bathol rahimahullah tatkala beliau merajihlan pendapat ini.

Banyak pula para ulama yang merajihkan pendapat ini. Di antaranya adalah Imam Nawawi, Imam Qurthubi, Ibnul Muflih, Al Amir As Shan’ani, Ibnu Bathol (Syarh Shahih Muslim karya Imam Nawawi 7/394, Al Jami’ Li Ahkami Al Qur’an 5/299, Al Adab 1/379).

Berikut ane nukilkan pernyataan Imam Nawawi rahimahullah mengenai permasalahan ini,

فَإِنْ كَانَ الْمُسْلِم عَلَيْهِ وَاحِدًا تَعَيَّنَ عَلَيْهِ الرَّدّ، وَإِنْ كَانُوا جَمَاعَة كَانَ الرَّدّ فَرْض كِفَايَة فِي حَقّهمْ، فَإِذَا رَدّ وَاحِد مِنْهُمْ سَقَطَ الْحَرَج عَنْ الْبَاقِينَ، وَالْأَفْضَل أَنْ يَبْتَدِئ الْجَمِيع بِالسَّلَامِ، وَأَنْ يَرُدّ الْجَمِيع. ( مسلم بشرح النووي جـ7 صـ394 )

” Bila salam diucapkan untuk seorang muslim, maka wajib atas dirinya untuk menjawab salam. Bila mereka satu rombongan, maka menjawab salam atas mereka, hukumnya fardu kifayah. Artinya bila sudah ada seorang diantara mereka yang menjawab salam, maka yang lainnya tidak terbebani kewajiban untuk menjawab salam. Namun yang lebih utama adalah hendaknya setiap orang yang ada dalam rombongan tersebut memulai untuk memberi salam dan setiap diantara mereka menjawab salam.” (Syarh Shahih Muslim 7/394)

Jadi, kesimpulannya hukum menjawab salam bagi suatu rombongan adalah fardu kifayah. Bila sudah ada salah seorang yang berada diantara rombongan, maka yang lainnya tidak terbebani kewajiban untuk menjawab salam. Walaupun seandainya setiap orang di antara mereka hendak menjawab salam, maka itu lebih afdol. Wallahu'alam..

Wallahu Waliyyut Taufiq'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..