Sabtu, 21 Januari 2017

ADA REZEKI PADA HATI

00.28.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Apa ada rezeki pada hati? Bagaimana bentuk rezeki tersebut?

Rezeki itu ada dua macam yaitu rezeki pada badan dan rezeki pada hati.

Rezeki pada badan yaitu rezeki yang diberikan pada hewan, manusia, jin dengan ketentuan dari Allah Yang Maha Pemurah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)” (QS. Huud: 6)

Rezeki pada hati yaitu rezeki berupa tauhid dan iman yang Allah berikan kepada siapa saja yang Allah kehendaki. Rezeki semacam ini yang dibawa oleh para nabi dan rasul serta para da’i ilallah. Rezeki ini yang Allah berikan kepada yang berhak mendapatkannya dan yang mau bersyukur. Allah memberikan rezeki tersebut pada siapa yang berusaha mencari sebab²nya. Itulah Maha Hakim dan Maha Mengetahuinya Allah.

Dalam ayat disebutkan,

قُلْ إِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (73) يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ (74)

“Katakanlah: “Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah, Allah memberikan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui”.., Allah menentukan rahmat-Nya (kenabian) kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Ali Imran: 73-74)

Ketahuilah bahwa karunia, nikmat dan rezeki dari Allah itu begitu besar yang tak mungkin dihitung.

Allah Ta’ala berfirman,

وَآَتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).”
(QS. Ibrahim: 34).

Rezeki pada hati itulah yang paling besar dibandingkan pada badan. Karena rezeki pada hati yang hanya diberikan pada orang² yang spesial. Buktinya dapat kita lihat dalam ayat berikut yang membicarakan tentang diutusnya rasul dengan membawa Al Qur’an dan As Sunnah. Lantas setelah itu disebut bahwa itu adalah karunia yang besar yang diberikan pada siapa saja yang Allah kehendaki. Jadi ilmu dan iman adalah nikmat besar yang tiada taranya.

Dalam ayat disebutkan,

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (2) وَآَخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا بِهِمْ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (3) ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ (4)

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang ummi (yang tidak pernah memperoleh kitab) seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat²-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar² dalam kesesatan yang nyata, dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al Jumu’ah: 3).

Syech As Sa’di rahimahullah berkata, “Ini adalah karunia terbesar yang Allah berikan pada siapa saja yang Allah kehendaki dari hamba-Nya. Nikmat diutusnya Rasul tersebut lebih besar dibandingkan dengan nikmat kesehatan badan dan keluasan rezeki, begitu pula lebih besar dari nikmat dunia lainnya. Nikmat diin (agama) tentu lebih besar dibandingnkan nikmat lainnya karena nikmat tersebut adalah poros keberuntungan dan kebahagiaan yang kekal abadi.” (Tafsir As Sa’di hal.911).

Jadi, jangan yang selalu diharap adalah rezeki pada badan saja. Yang terpenting adalah rezeki pada hati, itu yang mesti selalu dipinta setiap waktu. Semoga Allah terus memberikan iman dan taqwa pada kita.

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang bermanfaat'..

MEMISAH SHALAT RAWATIB DAN SHALAT WAJIB

00.19.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Shalat rawatib seperti telah kita pahami bersama adalah shalat yang mengiringi shalat fardhu. Macam² shalat rawatib pernah ane jelasin pada pembahasan sebelumnya. Namun ada suatu aturan yang mesti diperhatikan tatkala seseorang ingin melaksanakan shalat yang utama tersebut. Aturan ini dijelaskan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu hendaknya seseorang memisah antara shalat rawatib dan shalat wajib dengan perkataan atau perbuatan lainnya. Berikut keterangannya..

Pembicaraan dalam Hadits

Berdasarkan hadits As Saa ib bin Yazid bahwa Mu’awiyyah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepadanya,  “Apabila engkau telah shalat Jum’at, janganlah engkau sambung dengan shalat lain sebelum engkau berbicara atau pindah dari tempat shalat. Demikianlah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan pada kami.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنْ لاَ تُوصَلَ صَلاَةٌ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ

“Janganlah menyambung satu shalat dengan shalat yang lain, sebelum kita berbicara atau pindah dari tempat shalat”.

Ash Shan’ani rahimahullah mengatakan, “Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya memisah antara shalat sunnah dan shalat wajib, jangan kedua shalat tersebut bersambung langsung. Secara tekstual larangan di atas bermakna diharamkan. Hadits ini tidaklah khusus untuk shalat jum’at saja karena perowi berupaya menunjukkan kekhususan hukum itu untuk shalat jama’ah dengan hadits yang bersifat umum mencakup shalat Jum’at dan shalat lainnya.”

Apa Hikmahnya?

Ada yang berpendapat bahwa hikmah melakukan seperti itu agar tidak terjadi keserupaan antara shalat wajib dan shalat sunnah. Ada pula yang berpendapat bahwa melanggar hal di atas merupakan sebab kebinasaan orang² terdahulu. Diriwayatkan dari salah seorang sahabat Nabi,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَلَّى الْعَصْرَ فَقَامَ رَجُلٌ يُصَلِّى فَرَآهُ عُمَرُ فَقَالَ لَهُ اجْلِسْ فَإِنَّمَا هَلَكَ أَهْلُ الْكِتَابِ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لِصَلاَتِهِمْ فَصْلٌ.فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَحْسَنَ ابْنُ الْخَطَّابِ »

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Ashar, tiba² bangkitlah seorang lelaki hendak shalat lagi. Umar melihatnya, dan langsung berkata, “Duduklah. Sesunguhnya Ahli Kitab binasa karena mereka menyambungkan satu shalat dengan shalat yang lain”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Sungguh baik apa yang diucapkan Al-Khatthab”.

Syech Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menyatakan tentang hikmah larangan tersebut, “Karena dengan menyambungnya dengan shalat lain akan mengesankan seolah² shalat itu mengikuti shalat yang pertama, dan (larangan menyambung) ini, mencakup shalat Jum’at dan yang lainnya. Namun bila sudah dipisahkan dengan ucapan, atau dengan keluar dari tempat shalat tersebut, atau dengan mengucapkan istighfar, ataupun dzikir yang lain, itu berarti sudah melakukan pemisahan.”

Ash Shan’ani rahimahullah mengungkapkan, “Para ulama telah menyatakan tentang dianjurkannya bagi seseorang untuk berpindah dari tempat melakukan ibadah wajib ke tempat lain untuk melakukan shalat sunnah, bahkan yang lebih utama lagi bila ia langsung melaksanakan shalat sunnah tadi di rumahnya. Karena melaksanakan ibadah sunnah di rumah itu lebih baik. Atau paling tidak ia laksanakan shalat sunnah di tempat lain di masjid tersebut. Itu berarti ia memperbanyak tempat pelaksanaan shalat”

Telah dikeluarkan oleh Abu Daud rahimahullah dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam),

أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ أَوْ عَنْ يَمِينِهِ أَوْ عَنْ شِمَالِهِ

“Apakah salah seorang di antara kalian tidak mampu untuk sekedar maju, mundur, ke kiri atau ke kanan dalam shalatnya?” (maksudnya untuk shalat sunnah)

Diriwayatkan dengan shahih dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berpendapat bahwa pindah tempat itu disyariatkan dalam shalat sunnah dan shalat fardhu. Bila Ibnu ‘Umar berada di Mekkah lalu shalat Jum’at, terus beliau maju dan shalat dua raka’at, kemudian maju lagi dan shalat empat raka’at. Bila beliau berada di Madinah lalu shalat Jum’at, beliau kemudian pulang dan shalat di rumah dua raka’at, dan tidak shalat di masjid. Ada orang bertanya tentang hal itu. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Demikianlah yang biasa dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” 

Riwayat ini dapat dijadikan sebagai dalil penguat tentang dianjurkannya memperbanyak tempat sujud (shalat).

Lalu apa kesimpulannya'?

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kita harus memisah antara shalat wajib dan shalat sunnah, yaitu dengan perkataan (seperti dzikir) atau dengan berpindah tempat (di tempat lain di masjid atau di rumah).

Di antara hikmah atau alasannya, yaitu:

1. Agar tidak serupa antara shalat wajib dan shalat sunnah, ada pembeda,

2. Untuk memperbanyak tempat sujud sehingga lebih banyak tempat di bumi ini yang menjadi saksi bagi amalan kita di hari kiamat kelak. Alasan kedua ini adalah pelajaran dari firman Allah,

إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا (1) وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَهَا (2) وَقَالَ الْإِنْسَانُ مَا لَهَا (3) يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا (4) بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَى لَهَا (5)

“Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban² berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: “Mengapa bumi (menjadi begini)?”, pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya.” (QS. Az Zalzalah: 1-5).

Lihatlah bumi menjadi saksi bagi amalan manusia di hari kiamat. Berarti ketika kita berpindah tempat, semakin banyaklah yang menjadi saksi kita nantinya.

Dan bahasan di atas sebenarnya umum untuk setiap shalat sunnah sebagaimana perbuatan Ibnu ‘Umar. Namun shalat sunnah yang biasa menyertai shalat wajib adalah shalat sunnah rawatib, maka yang dibahas adalah shalat tersebut.

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..