Selasa, 06 Juni 2017

KENAPA MAKSIAT MASIH TERJADI, PADAHAL SETAN DIIKAT DI BULAN RAMADHAN?

00.51.00 Posted by Admin 1 comment

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Ketika puasa itu tiba, maka kebaikan akan mudah dilakukan. Kejahatan dan maksiat akan semakin berkurang karena saat itu pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup, setan pun terbelenggu.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ

“Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan dibelenggu.”
(HR. Bukhari no.1899 dan Muslim no.1079).

Dalam lafazh lain disebutkan,

إِذَا كَانَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الرَّحْمَةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ وَسُلْسِلَتِ الشَّيَاطِينُ

“Jika masuk bulan Ramadhan, pintu² rahmat dibukan, pintu² Jahannam ditutup dan setan² pun diikat dengan rantai.” (HR. Bukhari no.3277 dan Muslim no.1079).

Al Qadhi ‘Iyadh menyatakan bahwa yang dimaksud adalah makna secara tekstual dan hakiki. Terbukanya pintu surga, tertutupnya pintu neraka dan terikatnya setan adalah tanda masuknya bulan Ramadhan, mulianya bulan tersebut dan setan pun terhalang mengganggu orang beriman. Ini isyarat pula bahwa pahala dan pemaafan dari Allah begitu banyak pada bulan Ramadhan. Tingkah setan dalam menggoda manusia pun berkurang karena mereka bagaikan para tahanan ketika itu. (Fath Al Bari 4: 114 dan Syarh Shahih Muslim 7: 167)

Al Qodhi juga berkata, “Juga dapat bermakna terbukanya pintu surga karena Allah memudahkan berbagai ketaatan pada hamba-Nya di bulan Ramadhan seperti puasa dan shalat malam. Hal ini berbeda dengan bulan² lainnya. Di bulan Ramadhan, orang akan lebih sibuk melakukan kebaikan daripada melakukan maksiat. Inilah sebab mereka dapat memasuki surga dan pintunya. Sedangkan tertutupnya pintu neraka dan terbelenggunya setan, inilah yang mengakibatkan seseorang mudah menjauhi maksiat ketika itu.” (Syarh Shahih Muslim 7: 167)

Namun kenapa maksiat masih banyak terjadi di bulan Ramadhan walau setan itu diikat?

Disebutkan oleh Abul Abbas Al Qurthubi:

• Setan diikat dari orang yang menjalankan puasa yang memperhatikan syarat dan adab saat berpuasa. Adapun yang tidak menjalankan puasa dengan benar, maka setan tidaklah terbelenggu darinya.

• Seandainya pun kita katakan bahwa setan tidak mengganggu orang yang berpuasa, tetap saja maksiat bisa terjadi dengan sebab lain yaitu dorongan hawa nafsu yang selalu mengajak pada kejelekan, adat kebiasaan dan gangguan dari setan manusia.

• Bisa juga maksudnya bahwa setan yang diikat adalah umumnya setan dan yang memiliki pasukan sedangkan yang tidak memiliki pasukan tidaklah dibelenggu.

Intinya maksudnya adalah kejelekan itu berkurang di bulan Ramadhan. Ini nyata terjadi dibandingkan dengan bulan lainnya. (Al Mufhim lima Asykala min Takhlis Kitab Muslim 3: 136. Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no.221162)

Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa pada bulan Ramadhan, jiwa lebih condong pada kebaikan dan amalan shalih, yang dengan kebaikan ini sebagai jalan terbukanya pintu surga. Begitu pula kejelekan pun berkurang ketika itu yang akibatnya pintu neraka itu tertutup. Sedangkan setan itu diikat berarti mereka tidaklah mampu melakukan maksiat sebagaimana ketika tidak berpuasa. Namun maksiat masih bisa terjadi karena syahwat. Ketika syahwat itu ditahan, maka setan² pun terbelenggu. (Majmu’ah Al Fatawa 14: 167).

Karena terbuka lebarnya pintu kebaikan ini, pahala kebaikan akan dilipat gandakan.

Guru² dari Abu Bakar bin Maryam rahimahumullah pernah mengatakan, “Jika tiba bulan Ramadhan, bersemangatlah untuk bersedekah. Karena bersedekah di bulan tersebut lebih berlipat pahalanya seperti seseorang sedekah di jalan Allah (fii sabilillah). Pahala bacaaan tasbih (berdzikir “subhanallah”) lebih afdhol dari seribu bacaan tasbih di bulan lainnya.” (Lathaif Al Ma’arif hal.270)

Ibrahim An Nakho’i rahimahullah mengatakan, “Puasa sehari di bulan Ramadhan lebih afdhol dari puasa di seribu hari lainnya. Begitu pula satu bacaan tasbih (berdzikir “subhanallah”) di bulan Ramadhan lebih afdhol dari seribu bacaan tasbih di hari lainnya. Begitu juga pahala satu raka’at shalat di bulan Ramadhan lebih baik dari seribu raka’at di bulan lainnya.” (Lathaif Al Ma’arif hal.270)

Begitulah kemuliaan bulan Ramadhan. Orang yang sebelumnya malas ibadah, akan kembali sadar. Yang sudah semangat ibadah akan terus bertambah semangat. Yang lalai akan yang wajib, akan sadar di bulan Ramadhan. Yang lalai akan dzikir pun semangat untuk berdzikir. Begitu pula yang malas ke masjid akan rajin ke masjid. Namun tentu saja ibadah terbaik adalah ibadah yang continue, bukan hanya musiman,

وَإِنَّ أَحَبَّ الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ

“(Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang continue (ajeg) walaupun sedikit.” (HR. Muslim no.782)

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

Senin, 05 Juni 2017

APAKAH MARAH MEMBATALKAN PUASA?

00.19.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Kadang ada yang membangkitkan marah, sehingga seseorang itu marah dan meluapkan emosinya pada yang lainnya, bisa jadi pada anak, istri atau bawahan. Apakah seperti itu membatalkan puasa?

Perlu diketahui bahwa marah itu tidak membatalkan puasa. Orang yang marah saat puasa, puasanya tetap sah. Baik marah yang dilakukan punya tujuan syar’i dan ingin mendidik atau dalam rangka zalim, tidaklah membatalkan puasa.

Akan tetapi, orang yang berpuasa hendaklah memiliki sifat lemah lembut dan berusaha menahan marah, juga tidak sampai bertengkar dengan lainnya. Tetaplah bersikap lemah lembut terhadap yang berbuat zalim padanya. Hal ini sesuai nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ ، فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ ، أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّى امْرُؤٌ صَائِمٌ

“Jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah berkata-kata kotor, dan jangan pula bertindak bodoh. Jika ada seseorang yang mencelanya atau mengganggunya, hendaklah mengucapkan: sesungguhnya aku sedang berpuasa.” (HR. Bukhari no.1904 dan Muslim no.1151)

Ibnu Baththol mengatakan, “Ketahuilah bahwa tutur kata yang baik dapat menghilangkan permusuhan dan dendam kesumat.

Lihatlah firman Allah Ta’ala,

ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ

“Tolaklah (kejelekan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba² orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.”
(QS. Fushilat: 34-35).

Menolak kejelekan di sini bisa dengan perkataan dan tingkah laku yang baik.” (Syarh Al Bukhari 17: 273)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Allah memerintahkan pada orang beriman untuk bersabar ketika ada yang membuat marah, membalas dengan kebaikan jika ada yang buat jahil, dan memaafkan ketika ada yang buat jelek. Jika setiap hamba melakukan semacam ini, Allah akan melindunginya dari gangguan setan dan akan menundukkan musuh²nya. Malah yang semula bermusuhan bisa menjadi teman dekatnya karena tingkah laku baik semacam ini.”

Keutamaan menahan marah pun disebutkan dalam hadits dari Mu’adz bin Anas, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَظَمَ غَيْظًا – وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ – دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ مَا شَاءَ

“Siapa yang dapat menahan marahnya padahal ia mampu untuk meluapkannya, maka Allah akan memanggilnya di hadapan para makhluk pada hari kiamat sehingga orang itu memilih bidadari cantik sesuka hatinya.” (HR. Abu Daud no.4777 dan Ibnu Majah no.4186. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Orang yang kuat bukanlah orang yang pandai bergelut. Yang kuat, itulah yang kuat menahan marahnya..

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

“Yang namanya kuat bukanlah dengan pandai bergelut. Yang disebut kuat adalah yang dapat menguasai dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari no.6114 dan Muslim no.2609).

Semoga Allah Ta'alaa senantiasa menjaga diri kita semua agar tetap selalu bisa meredam dan mengontrol amarah kita biar terhindar dari segala macam keburukan yang di timbulkan darinya..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

BELUM SEMPAT MANDI JUNUB HINGGA SHUBUH, BOLEHKAH PUASA?

00.15.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Ada yang karena berhubungan intim atau mimpi basah sampai azan shubuh berkumandang belum juga mandi junub. Apakah bisa melaksanakan puasa pada hari itu?

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

قَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ فِى رَمَضَانَ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ فَيَغْتَسِلُ وَيَصُومُ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpai waktu fajar di bulan Ramadhan dalam keadaan junub bukan karena mimpi basah, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dan tetap berpuasa.” (HR. Muslim no.1109)

Hadits di atas diperkuat lagi dengan ayat,

فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan mubasyaroh (basyiruhunna) dalam ayat di atas adalah jima’ atau hubungan intim. Dalam lanjutan ayat disebutkan “ikutilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk kalian”. Jika jima’ itu dibolehkan hingga terbit fajar (waktu Shubuh), maka tentu diduga ketika masuk Shubuh masih dalam keadaan junub. Puasa ketika itu pun sah karena Allah perintahkan “sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam.” Itulah dalil Al Qur'an dan juga didukung dengan perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bolehnya masuk Shubuh dalam keadaan junub.” (Syarh Shahih Muslim 7: 195).

Jadi segeralah mandi saat masuk waktu Shubuh, lalu segera laksanakan shalat. Puasa bisa dilanjutkan pada hari tersebut.

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

Minggu, 04 Juni 2017

SYARAT PEMBATAL PUASA BERLAKU

15.31.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Kita tahu ada pembatal puasa seperti makan, minum, dan jima’ (hubungan intim). Ternyata bisa batal jika memenuhi tiga syarat berikut..

Syarat Pertama: Tau Ilmu

Apabila seorang yang berpuasa melakukan salah satu pembatal di atas karena tidak tau (jahil), baik jahil terhadap waktu atau hukum maka puasa tetap sah.

Misal jahil terhadap waktu: Seseorang bangun di akhir malam dan dia menyangka fajar belum terbit, kemudian dia makan dan minum. Namun ternyata fajar telah terbit dan dia baru mengetahuinya, maka puasa orang ini sah karena dia jahil terhadap waktu.

Misal tidak tahu terhadap hukum, sebagaimana terdapat dalam As Sunnah dari hadits Asma’ binti Abu Bakr radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam shohihnya Asma’ berkata,

أَفْطَرْنَا عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ غَيْمٍ ، ثُمَّ طَلَعَتِ الشَّمْسُ

“Kami pernah berbuka di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari yang mendung lalu tiba² muncul matahari.”

Para sahabat berbuka pada siang hari, akan tetapi mereka tidak mengetahui. Mereka menyangka bahwa matahari telah tenggelam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintah mereka untuk mengqodho’. Seandainya qodho’ tersebut wajib, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerintah mereka untuk mengqodho’. Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah mereka, tentu akan dinukil berita tersebut kepada kita. Seandainya kita berbuka dan menyangka matahari telah tenggelam padahal kenyataannya matahari belum tenggelam, maka wajib bagi kita menahan diri hingga matahari tenggelam dan puasa kita tetap sah.

Syarat Kedua: Dalam Keadaan Ingat, Tidak Lupa

Seandainya seseorang yang berpuasa lupa ketika makan atau minum, maka puasanya tetap sah. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang² sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS. Al Baqarah : 286)

Syarat Ketiga: Berdasarkan Keingingan Sendiri Bukan Dipaksa

Seandainya seorang yang berpuasa melakukan salah satu pembatal di atas bukan atas kehendak atau pilihannya sendiri, maka puasanya tetap sah. Seandainya seseorang berkumur-kumur kemudian air masuk ke dalam perut tanpa kehendaknya, maka puasanya tetap sah.

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

MAKMUM MASBUK KETIKA SHALAT JUM'AT

15.15.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Bagaimana makmum masbuk ketika shalat Jum'at?

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Telah kami sebutkan bahwa madzhab kami, madzhab Syafi’i, jika seseorang mendapatkan ruku di raka’at kedua, maka berarti mendapatkan shalat Jum'at. Jika tidak, berarti tidak. Inilah pendapat kebanyakan ulama. Ibnul Mundzir menceritakan hal ini dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Anas bin Malik, Sa’id bin Al Musayyib, Al Aswad, Alqomah, Al Hasan Al Bashri, Urwah bin Jubair, An Nakho’i, Az Zuhri, Malik, Al Auza’i, Ats Tsauri, Abu Yusuf, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur. Ibnul Mundzir menyatakan bahwa pendapat beliau pun seperti itu.

Sedangkan pendapat lainnya dari Atho’, Thawus, Mujahid, dan Makhul berpendapat bahwa siapa yang tidak mendapatkan khutbah, maka ia mengerjakan shalat empat raka’at.

Ada juga dari ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa siapa yang mendapatkan tasyahud akhir bersama imam, maka ia mendapat shalat Jum'at. Namun setelah itu, ia mesti mengerjakan dua rakaat lagi, barulah shalat Jum'atnya sempurna.

Syech Abu Hamid menceritakan pula dari para ulama, jika mendapatkan imam sebelum salam, maka berarti mendapatkan shalat Jum'at.

Imam Abu Hanifah sendiri berpendapat bahwa jika imam mengucapkan salam kemudian ia sujud sahwi, lalu makmum mendapatkannya, maka ia mendapatkan shalat Jum'at.

Ulama Syafi’iyah juga berpendapat sebagaimana pendapat dalam madzhab kami yaitu dari Asy Sya’bi, Zufr, Muhammad bin Al Hasan. Dalilnya adalah hadits riwayat Bukhari – Muslim yang telah kami sebutkan.” (Al Majmu 4: 302)

Pendapat ulama Syafi’iyah di atas yang disebutkan oleh Imam Nawawi lebih kuat mengingat dalil berikut,

عَنْ أَبِى بَكْرَةَ أَنَّهُ انْتَهَى إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَهْوَ رَاكِعٌ ، فَرَكَعَ قَبْلَ أَنْ يَصِلَ إِلَى الصَّفِّ ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلاَ تَعُدْ »

Dari Abu Bakrah, ia berkata bahwa ia pernah mendapati shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan beliau sedang ruku. Lalu Abu Bakrah ruku sebelum mendapati shaf. Hal ini pun diceritakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Semoga Allah menambah padamu semangat, seperti itu janganlah diulangi.” (HR. Bukhari no.783).

Shalat dari Abu Bakrah masih teranggap dan tidak diperintah oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk diulangi. Ketika itu pun Abu Bakrah tidak punya kesempatan membaca Al Fatihah. Sedangkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “janganlah mengulangi”, ini menunjukkan bahwa larangan masuk dalam shalat sebelum mencapai shaf.

Jadi kesimpulannya, selama mendapatkan ruku pada raka’at kedua, berarti tetap mengerjakan shalat Jum'at dua raka’at. Demikian yang berlaku pada makmum masbuk pada shalat Jumat. Wallahu a’lam..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

Sabtu, 03 Juni 2017

PERGI SHALAT JUM'AT DALAM KEADAAN TENANG

14.14.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Pergi Shalat Jum'at diperintahkan dalam keadaan tenang dan tidak tergesa-gesa.

Allah Ta’ala memerintahkan kepada orang beriman untuk menghadiri shalat Jumat dan bersegera melakukannya.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang² beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al Jumu’ah: 9).

Syech As Sa’di rahimahullah menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “as sa’yu” adalah bersungguh-sungguh untuk menuju shalat Jum'at dan tidak menyibukkan diri dengan hal lainnya. Di sini yang dimaksudkan bukanlah berlari-lari menuju shalat Jum'at. Tetap yang diperintahkan adalah pergi shalat Jumat dalam keadaan yang tenang. (Taisirul Lathifil Mannan hal.138).

Sama halnya dikatakan oleh Imam Nawawi bahwa yang dimaksud dengan fas’au ilaa dzikrillah” adalah pergi untuk melaksanakan shalat Jum'at sebagaimana disebutkan dalam Syarh Shahih Muslim 5: 88. Jadi bukan yang dimaksud adalah cepat².

Perintah bersikap bahkan tetap ada meskipun telat dalam shalat berjamaah sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut,

إِذَا سَمِعْتُمُ الإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى الصَّلاَةِ ، وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالْوَقَارِ وَلاَ تُسْرِعُوا ، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا

“Jika kalian mendegar iqamah, maka berjalanlah menuju shalat. Namun tetaplah tenang dan khusyu’ menuju shalat, jangan tergesa-gesa. Apa saja yang kalian dapati dari imam, maka ikutilah. Sedangkan yang luput dari kalian, maka sempurnakanlah.” (HR. Bukhari no.636 dan Muslim no.602).

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk mendatangi shalat dalam keadaan tenang dan tidak tergesa-gesa, di sini pun termasuk dalam shalat Jum'at maupun shalat lainnya, baik saat itu khawatir akan luput dari takbiratul ihram bersama imam ataukah tidak.” (Syarh Shahih Muslim 5: 88)

Apa hikmahnya pergi shalat dalam keadaan tenang dan larangan tergesa-gesa? Karena berangkat menuju masjid sudah terhitung berada dalam shalat sebagaimana disebutkan dalam hadits lainnya dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا ثُوِّبَ لِلصَّلاَةِ فَلاَ تَأْتُوهَا وَأَنْتُمْ تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا وَعَلَيْكُمُ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا كَانَ يَعْمِدُ إِلَى الصَّلاَةِ فَهُوَ فِى صَلاَةٍ

“Jika engkau hendak pergi shalat, maka datangilah dalam keadaan tidak tergesa-gesa. Hendaklah bersikap tenang. Apa saja yang kalian dapati dari imam, maka ikutilah. Sedangkan yang luput dari kalian, maka sempurnakanlah. Karena salah seorang di antara kalian menuju shalat sudah terhitung berada dalam shalat” (HR. Muslim no.602).

Ibnu Hajar menyebutkan hikmah lainnya kenapa tidak boleh tergesa-gesa menuju shalat. Jika seseorang tergesa-gesa, maka ia akan membaca surat tidak dengan penuh kekhususan. Beda halnya jika ia mendatangi shalat jauh² sebelumnya, ada waktu untuknya untuk rehat. (Fathul Bari 2: 117)

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

SAAT PUASA, BERAKHLAK YANG MULIA DAN JAGA LISAN

14.04.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Ramadhan itu mengajarkan akhlak yang mulia. Di bulan yang mulia tersebut kita diajarkan untuk tidak melakukan perbuatan tercela seperti dusta dan banyak mencela.

Saat berpuasa wajib meninggalkan dusta sebagaimana disebutkan dalam hadits,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no.1903).

Lihatlah bagaimana akibat dusta dalam puasa, seseorang tidak mendapatkan apa².

Di antara akhlak yang wajib ditinggalkan lagi adalah suka mencela atau menghina orang lain. Lihatlah bagaimana ancaman dalam ayat,

وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ

“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela.” (QS. Al Humazah: 1).

Kata Ibnu Abbas adalah mencela dan menjelekkan. (Tafsir Al Qur’an Al Azhim 7: 650).

Sedangkan ‘wail’ dalam ayat bisa berarti ancaman celaka atau bisa berarti nama lembah di neraka. Ini menunjukkan bahaya bagi orang yang banyak mencela saat berpuasa.

Termasuk dalam mencela adalah mencela saudaranya yang telah bertaubat dari dosa. Dari Mu’adz bin Jabal, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ

“Siapa yang menjelek-jelekkan saudaranya karena suatu dosa, maka ia tidak akan mati kecuali mengamalkan dosa tersebut.” (HR. Tirmidzi no.2505. Syech Al Albani berkata bahwa hadits ini maudhu’).

Imam Ahmad menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah dosa yang telah ditaubati.

Dalam Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وَكُلُّ مَعْصِيَةٍ عُيِّرَتْ بِهَا أَخَاكَ فَهِيَ إِلَيْكَ يَحْتَمِلُ أَنْ يُرِيْدَ بِهِ أَنَّهَا صَائِرَةٌ إِلَيْكَ وَلاَ بُدَّ أَنْ تَعْمَلَهَا

“Setiap maksiat yang dijelek-jelekkan pada saudaramu, maka itu akan kembali padamu. Maksudnya, engkau bisa dipastikan melakukan dosa tersebut.” (Madarijus Salikin 1: 176)

Hadits di atas bukan maknanya adalah dilarang mengingkari kemungkaran. Ta’yir (menjelek-jelekkan) yang disebutkan dalam hadits berbeda dengan mengingkari kemungkaran. Karena menjelek-jelekkan mengandung kesombongan (meremehkan orang lain) dan merasa diri telah bersih dari dosa. Sedangkan mengingkari kemungkaran dilakukan lillahi Ta’ala, ikhlas karena Allah, bukan karena kesombongan. (Al Urf Asy Syadzi Syarh Sunan At Tirmidzi oleh Muhammad Anwar Syah Ibnu Mu’azhom Syah Al Kasymiri)

Intinya, secara umum, puasa mengajarkan akhlak yang mulia. Jangan sampai puasa kita jadi sia² karena sikap atau tingkah laku kita yang jelek pada orang lain.

Secara umum di setiap waktu, Islam mengajarkan kita akhlak yang mulia. Dari Abu Ad Darda, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ شَىْءٍ أَثْقَلُ فِى الْمِيزَانِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ

“Tidaklah sesuatu yang lebih berat di timbangan selain akhlak yang mulia.” (HR. Abu Daud no.4799 dan Tirmidzi no.2003. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Semoga dengan akhlak yang mulia semakin memberatkan timbangan amalan kita di hari kiamat kelak..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..