Jumat, 30 Desember 2016

BAHAYA LAMA HIDUP MEMBUJANG

06.53.00 Posted by Admin No comments


Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Bolehkah memutuskan hidup membujang? Apakah ada larangan membujang dalam Islam?

Sudah jelas perintah untuk menikah. Namun bagaimana jika sebagian pria atau wanita memutuskan untuk hidup membujang? Apakah ada larangannya?

Larangan Tabattul

Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu pernah berkata,

رَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ ، وَلَوْ أَذِنَ لَهُ لاَخْتَصَيْنَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengizinkan Utsman bin Mazh’un untuk tabattul (hidup membujang), kalau seandainya beliau mengizinkan tentu kami (akan bertabattul) meskipun (untuk mencapainya kami harus) melakukan pengebirian.”
(HR. Bukhari no.5073 dan Muslim no.1402).

Disebutkan dalam Ensiklopedia Fikih terbitan Kementrian Agama Kuwait pada juz 8 halaman 13, tabattul secara bahasa berarti memutus. Sedangkan orang yang mengasingkan diri dengan tujuan beribadah disebut dengan al mutabattil.

Dalam Subulus Salam (juz 6, halaman 10) karya Ash Shan’ani, disebutkan bahwa tabattul adalah enggan menikah karena memutuskan untuk sibuk beribadah pada Allah.

Disebutkan pula oleh Ibnu Hajar Al Asqolani menyatakan pula hal yang sama. Beliau berkata,

الْمُرَاد بِالتَّبَتُّلِ هُنَا الِانْقِطَاع عَنْ النِّكَاح وَمَا يَتَّبِعهُ مِنْ الْمَلَاذ إِلَى الْعِبَادَة

“Yang dimakusd tabattul adalah meninggalkan menikah karena sibuk untuk ibadah.”
(Fathul Bari 9: 118)

Setelah itu, Ibnu Hajar menyebutkan perkataan Ath Thobariy bahwa tabattul yang dimaksudkan oleh Utsman bin Mazh’un adalah mengharamkan pada diri untuk menikahi wanita dan enggan mengenakan wewangian serta segala sesuatu yang menyenangkan. Karenanya turunlah ayat,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ

“Hai orang² yang beriman, janganlah kamu haramkan apa² yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu.” (QS. Al Maidah: 87).

Haram Hidup Membujang

Ketika menjelaskan salah satu hadits dalam kitab Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al Asqolani pada bahasan Nikah, Syech Abdullah Al Fauzan hafizhahullah menyebutkan, “Terlarang melakukan tabattul yaitu meninggalkan untuk menikah dikarenakan ingin menyibukkan diri untuk beribadah dan menuntut ilmu padahal mampu ketika itu. Larangan di sini bermakna tahrim (haram).” (Minhatul ‘Allam 7: 182).

Pernah ada di antara sahabat ada yang punya tekad untuk enggan menikah karena ingin sibuk dalam ibadah. Anas bin Malik berkata,

جَاءَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ . قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا فَإِنِّى أُصَلِّى اللَّيْلَ أَبَدًا . وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلاَ أُفْطِرُ . وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ أَبَدًا . فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّى لأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ ، لَكِنِّى أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّى وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى »

“Ada tiga orang yang pernah datang ke rumah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka bertanya tentang ibadah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika mereka diberitahu, tanggapan mereka seakan² menganggap apa yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa² saja.

Mereka berkata, “Di mana kita dibandingkan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal dosa beliau yang lalu dan akan datang telah diampuni.”

Salah satu dari mereka lantas berkata, “Adapun saya, saya akan shalat malam selamanya.”

Yang lain berkata, “Saya akan berpuasa terus menerus, tanpa ada hari untuk tidak puasa.”

Yang lain berkata pula, “Saya akan meninggalkan wanita dan tidak akan menikah selamanya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Kaliankah yang berkata demikian dan demikian. Demi Allah, aku sendiri yang paling takut pada Allah dan paling bertakwa pada-Nya. Aku sendiri tetap puasa namun ada waktu untuk istirahat tidak berpuasa. Aku sendiri mengerjakan shalat malam dan ada waktu untuk tidur. Aku sendiri menikahi wanita. Siapa yang membenci ajaranku, maka ia tidak termasuk golonganku.” (HR. Bukhari no.5063 dan Muslim no.1401)

Yang dimaksud hadits ‘siapa yang membenci ajaranku …’ sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar,

مَنْ تَرَكَ طَرِيقَتِي وَأَخَذَ بِطَرِيقَةِ غَيْرِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Siapa yang meninggalkan jalanku, lalu menempuh jalan selainku, maka tidak termasuk golonganku.” (Fathul Bari 9: 105)

Berarti menikah termasuk ajaran Islam dan tak boleh dibenci. Ajaran Islam yang disebutkan dalam hadits mengandung maslahat yang besar. Disebutkan kembali oleh Ibnu Hajar,

وَطَرِيقَة النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَنِيفِيَّة السَّمْحَة فَيُفْطِر لِيَتَقَوَّى عَلَى الصَّوْم وَيَنَام لِيَتَقَوَّى عَلَى الْقِيَام وَيَتَزَوَّج لِكَسْرِ الشَّهْوَة وَإِعْفَاف النَّفْس وَتَكْثِير النَّسْل

“Jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah lurus dan memberikan banyak kelonggaran. Dalam ajaran beliau masih dibolehkan tidak puasa, supaya benar² kuat jalani puasa. Dalam Islam masih boleh tidur supaya kuat menjalani shalat malam. Dalam Islam diperbolehkan pula untuk menikah untuk mengekang syahwat, menjaga kesucian diri dan memperbanyak keturunan.” (Fathul Bari 9: 105)

*Beda dengan Ibnu Taimiyah dan Imam Nawawi*

Sebagaimana dalam Al Fiqhu Al Manhaji ‘ala Madzhabil Imam Asy Syafi’i (2: 14-15) yang di antara penulisnya adalah Syech Musthofa Al Bugho hafizhahullah, disebutkan keadaan orang yang membujang. Berikut rinciannya:

• Membujang karena tak punya keinginan untuk menikah, bisa jadi karena dilihat dari fitrahnya, atau karena sakit, atau karena tidak mampu memberi nafkah padahal dalam nikah ada keharusan memberi mahar dan nafkah.

• Membujang karena terlalu sibuk dengan ibadah dan menuntut ilmu diin, dan nikah dapat membuatnya lalai dari hal itu. Walau dari segi finansial, ia sudah mampu untuk menikah.

• Membujang dalam keadaan mampu untuk menikah secara finansial dan ia tidak disibukkan dengan ibadah dan menuntut ilmu diin (agama).

Untuk kondisi pertama, dimakruhkan untuk menikah.

Untuk kondisi kedua, lebih baik tidak menikah karena adanya maslahat yang besar.

Untuk kondisi ketiga, lebih baik untuk menikah.

Demikian intisari dari penjelasan dalam Al Fiqhu Al Manhajiy.

Adapun keadaan Ibnu Taimiyah begitu pula Imam Nawawi yang tidak menikah hingga meninggal dunia karena mereka tersibukkan pada jihad dengan ilmu. Keadaan mereka masuk dalam kondisi kedua sebagaimana yang telah ane sebutkan di atas.

Bila kita sendiri yang hidup membujang bisa menilai masuk pada kondisi yang mana? Jangan² kita cuma menghabiskan waktu muda kita dengan sia² dan tak punya karya apa² seperti Imam Nawawi dan Ibnu Taimiyah.

Wallahu Waliyyut Taufiq'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

0 komentar: