Jumat, 30 September 2016

HUKUM IMPLANTASI GIGI PALSU

08.34.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Melanjutkan pertanyaan dari Uni Eva di Solok Sumatra Barat yang menanyakan soal 
Hukum Implantasi Gigi Menurut Islam, berikut penjelasan nya..

Ada beberapa hadits yang bisa kita jadikan acuan dalam masalah ini, diantaranya..

Pertama, hadits dari Urfujah bin As’ad radhiyallahu ‘anhu,

Ų£َŁ†َّŁ‡ُ Ų£ُŲµِŁŠŲØَ Ų£َŁ†ْŁُŁ‡ُ ŁŠَŁˆْŁ…َ Ų§Ł„ْŁƒُŁ„َŲ§ŲØِ ŁِŁŠ Ų§Ł„ْŲ¬َŲ§Ł‡ِŁ„ِŁŠَّŲ©ِ، ŁَŲ§ŲŖَّŲ®َŲ°َ Ų£َŁ†ْŁًŲ§ Ł…ِŁ†ْ ŁˆَŲ±ِŁ‚ٍ ŁَŲ£َŁ†ْŲŖَŁ†َ Ų¹َŁ„َŁŠْŁ‡ِ  ŁَŲ£َŁ…َŲ±َŁ‡ُ Ų§Ł„Ł†َّŲØِŁŠُّ ŲµَŁ„َّŁ‰ Ų§Ł„Ł„Ł‡ُ Ų¹َŁ„َŁŠْŁ‡ِ ŁˆَŲ³َŁ„َّŁ…َ Ų£َŁ†ْ ŁŠَŲŖَّŲ®ِŲ°َ Ų£َŁ†ْŁًŲ§ Ł…ِŁ†ْ Ų°َŁ‡َŲØٍ

Bahwa hidung beliau terkena senjata pada peristiwa perang Al Kulab di zaman jahiliyah. Kemudian beliau tambal dengan perak, namun hidungnya malah membusuk. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menggunakan tambal hidung dari emas. (HR. An Nasai 5161, Abu Daud 4232, dan dinilai hasan oleh Al-Albani).

Kedua, hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,

Ł„ُŲ¹Ł†ŲŖ Ų§Ł„ŁˆŲ§ŲµŁ„Ų© ŁˆŲ§Ł„Ł…Ų³ŲŖŁˆŲµŁ„Ų© ŁˆŲ§Ł„Ł†Ų§Ł…ŲµŲ© ŁˆŲ§Ł„Ł…ŲŖŁ†Ł…ŲµŲ© ŁˆŲ§Ł„ŁˆŲ§Ų“Ł…Ų© ŁˆŲ§Ł„Ł…Ų³ŲŖŁˆŲ“Ł…Ų© Ł…Ł† ŲŗŁŠŲ± ŲÆŲ§Ų”

“Dilaknat : orang yang menyambung rambut, yang disambung rambutnya, orang yang mencabut alisnya dan yang minta dicabut alisnya, orang yang mentato dan yang minta ditato, selain karena penyakit.” (HR. Abu Daud 4170 dan dishahihkan Al Albani).

Dalam riwayat lain, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

Ł†Ł‡Ł‰ Ų¹Ł† Ų§Ł„Ł†Ų§Ł…ŲµŲ© ŁˆŲ§Ł„ŁˆŲ§Ų“Ų±Ų© ŁˆŲ§Ł„ŁˆŲ§ŲµŁ„Ų© ŁˆŲ§Ł„ŁˆŲ§Ų“Ł…Ų© Ų„Ł„Ų§ Ł…Ł† ŲÆŲ§Ų”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang mencukur alis, mengkikir gigi, menyambung rambut, dan mentato, kecuali karena penyakit. (HR. Ahmad 3945 dan sanadnya dinilai kuat oleh Syuaib Al Arnaut).

Syech As Syaukani mengatakan,

Ł‚ŁˆŁ„Ł‡ (Ų„Ł„Ų§ Ł…Ł† ŲÆŲ§Ų”) ŲøŲ§Ł‡Ų±Ł‡ Ų£Ł† Ų§Ł„ŲŖŲ­Ų±ŁŠŁ… Ų§Ł„Ł…Ų°ŁƒŁˆŲ± Ų„Ł†Ł…Ų§ Ł‡Łˆ ŁŁŠŁ…Ų§ Ų„Ų°Ų§ ŁƒŲ§Ł† Ł„Ł‚ŲµŲÆ Ų§Ł„ŲŖŲ­Ų³ŁŠŁ† Ł„Ų§ Ł„ŲÆŲ§Ų” ŁˆŲ¹Ł„Ų©، ŁŲ„Ł†Ł‡ Ł„ŁŠŲ³ ŲØŁ…Ų­Ų±Ł…

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘kecuali karena penyakit’ menunjukkan bahwa keharaman yang disebutkan, jika tindakan tersebut dilakukan untuk tujuan memperindah penampilan, bukan untuk menghilangkan penyakit atau cacat, karena semacam ini tidak haram. (Nailul Authar 6/244).

Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan, semua intervensi luar yang mengubah keadaan tubuh kita hukumnya dibolehkan jika tujuannya dalam rangka pengobatan, atau mengembalikan pada kondisi normal. Dan ini tidak termasuk mengubah ciptaan Allah yang terlarang.

Lajnah Daimah untuk Fatwa dan Penelitian Islam, mendapat pertanyaan tentang hukum mencabut gigi yang rusak dan diganti dengan gigi palsu. Apakah termasuk mengubah ciptaan Allah?

Jawaban Lajnah:

Ł„Ų§ ŲØŲ£Ų³ ŲØŲ¹Ł„Ų§Ų¬ Ų§Ł„Ų£Ų³Ł†Ų§Ł† Ų§Ł„Ł…ŲµŲ§ŲØŲ© Ų£Łˆ Ų§Ł„Ł…Ų¹ŁŠŲØŲ© ŲØŁ…Ų§ ŁŠŲ²ŁŠŁ„ Ų¶Ų±Ų±Ł‡Ų§ Ų£Łˆ Ų®Ł„Ų¹Ł‡Ų§ ، ŁˆŲ¬Ų¹Ł„ Ų£Ų³Ł†Ų§Ł† ŲµŁ†Ų§Ų¹ŁŠŲ© ŁŁŠ Ł…ŁƒŲ§Ł†Ł‡Ų§ Ų„Ų°Ų§ Ų§Ų­ŲŖŁŠŲ¬ Ų„Ł„Ł‰ Ų°Ł„Łƒ ؛ Ł„Ų£Ł† Ł‡Ų°Ų§ Ł…Ł† Ų§Ł„Ų¹Ł„Ų§Ų¬ Ų§Ł„Ł…ŲØŲ§Ų­ Ł„Ų„Ų²Ų§Ł„Ų© Ų§Ł„Ų¶Ų±Ų± ، ŁˆŁ„Ų§ ŁŠŲÆŲ®Ł„ Ł‡Ų°Ų§ ŁŁŠ ŲŖŲØŲÆŁŠŁ„ Ų®Ł„Ł‚ Ų§Ł„Ł„Ł‡ ŁƒŁ…Ų§ ŁŁ‡Ł… Ų§Ł„Ų³Ų§Ų¦Ł„

“Tidak masalah mengobati gigi yang rusak atau cacat, dengan gigi lain, sehingga bisa menghilangkan resiko sakit, atau melepasnya kemudian diganti gigi palsu, jika dibutuhkan. Karena semacam ini termasuk bentuk pengobatan yang mubah, untuk menghilangkan madharat. Dan tidak termasuk mengubah ciptaan Allah, sebagaimana yang dipahami penanya.” (Fatawa Lajnah 25/15).

Keterangan yang sama juga disampaikan oleh Imam Ibnu Utsaimin. Beliau ditanya tentang hukum gigi palsu, untuk menggantikan gigi yang rontok. Jawaban beliau,

ŁŠŲ¬ŁˆŲ² Ł„Ł„Ų„Ł†Ų³Ų§Ł† Ų„Ų°Ų§ Ų³Ł‚Ų·ŲŖ Ų£Ų³Ł†Ų§Ł†Ł‡ Ų£Ł† ŁŠŲ³ŲŖŲ¹ŁŠŲ¶ Ų¹Ł†Ł‡Ų§ ŲØŲ£Ų³Ł†Ų§Ł† Ų£Ų®Ų±Ł‰ ŲµŁ†Ų§Ų¹ŁŠŲ© ؛ Ł„Ų£Ł† Ų°Ł„Łƒ Ł…Ł† Ų„Ų²Ų§Ł„Ų© Ų§Ł„Ų¹ŁŠŲØ ، ŁƒŁ…Ų§ Ų£Ų°Ł† Ų§Ł„Ų±Ų³ŁˆŁ„ ŲµŁ„Ł‰ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ ŁˆŲ³Ł„Ł… Ł„Ų£Ų­ŲÆ Ų§Ł„ŲµŲ­Ų§ŲØŲ© Ų±Ų¶ŁŠ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų¹Ł†Ł‡Ł… Ų§Ł„Ų°ŁŠ Ų§Ł†Ł‚Ų·Ų¹ Ų£Ł†ŁŁ‡ Ų£Ł† ŁŠŲŖŲ®Ų° Ų£Ł†ŁŲ§ً Ł…Ł† ŁŲ¶Ų© ŁŲ£Ł†ْŲŖŁ† ، ŁŲ£Ų°Ł† Ł„Ł‡ Ų£Ł† ŁŠŲŖŲ®Ų° Ų£Ł†ŁŲ§ً Ł…Ł† Ų°Ł‡ŲØ ، ŁŲ§ŲŖŲ®Ų° Ų£Ł†ŁŲ§ً Ł…Ł† Ų°Ł‡ŲØ . ŁƒŲ°Ł„Łƒ Ų£ŁŠŲ¶Ų§ً Ų§Ł„Ų£Ų³Ł†Ų§Ł† Ų„Ų°Ų§ Ų³Ł‚Ų·ŲŖ ŁŁ„Ł„Ų„Ł†Ų³Ų§Ł† Ų£Ł† ŁŠŲ¶Ų¹ ŲØŲÆŁ„Ł‡Ų§ Ų£Ų³Ł†Ų§Ł†Ų§ً ŲµŁ†Ų§Ų¹ŁŠŲ© ، ŁˆŁ„Ų§ Ų­Ų±Ų¬ Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ ŁŁŠ Ų°Ł„Łƒ

“Boleh bagi seseorang ketika ada giginya yang rontok, untuk diganti dengan gigi palsu, karena semacam ini termasuk bentuk menghilangkan cacat tubuh. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan salah seorang sahabat yang terpotong hidungnya, untuk menambal hidungnya dengan perak. Namun malah membusuk. Kemudian beliau mengizinkan menambal hidungnya dengan emas. Demikian pula gigi. Ketika ada gigi seseorang yang rontok, dia boleh memasang gigi palsu sebagai penggantinya, dan hukumnya tidak masalah. (Fatawa Nur ‘ala Ad Darb volume 9).

Lalu bagaimana setelah meninggal, Apakah gigi palsu itu harus di cabut atau boleh dibiarkan saja'?

Akhi Ukhti, Jenazah muslim wajib disikapi sebagaimana orang hidup. Artinya tidak boleh dikerasi, tidak boleh dilukai, atau diambil bagian tubuhnya, apalagi dipatahkan tulangnya.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ŁƒَŲ³ْŲ±ُ Ų¹َŲøْŁ…ِ Ų§Ł„ْŁ…َŁŠِّŲŖِ ŁƒَŁƒَŲ³ْŲ±ِŁ‡ِ Ų­َŁŠًّŲ§

”Mematahkan tulang mayit, statusnya sama dengan mematahkan tulangnya ketika masih hidup.” (HR. Abu Daud 3207, Ibnu Majah 1616, dan yang lainnya).

Mengingat hadits ini, Fatawa Syabakah Islamiyah menegaskan satu kaidah,

ŁŁ…Ł† Ų§Ł„Ł…Ł‚Ų±Ų± Ų“Ų±Ų¹Ų§ً Ų£Ł† Ų­Ų±Ł…Ų© Ų§Ł„Ł…Ų³Ł„Ł… ŁˆŁ‡Łˆ Ł…ŁŠŲŖ ŁƒŲ­Ų±Ł…ŲŖŁ‡ ŁˆŁ‡Łˆ Ų­ŁŠ، ŁˆŁ…Ł† Ų«Ł… ŁŁ„Ų§ ŁŠŲ¬ŁˆŲ² Ų§Ł„ŲŖŲ¹ŲÆŁŠ Ų¹Ł„Ł‰ Ų­Ų±Ł…ŲŖŁ‡

”Bagian prinsip penting dalam syariat, kehormatan seorang muslim ketika sudah mati statusnya sama dengan kehormatannya ketika masih hidup. Karena itu, tidak boleh dilanggar kehormatannya.” (Fatawa Syabakah islamiyah no.12511)

Para ulama menegaskan bahwa tidak wajib mengambil benda asing yang ada pada tubuh mayit. Makna tidak wajib, artinya keberadaan barang itu di tubuh mayit, tidak memberikan dampak apapun bagi mayit. Keberadaan benda itu, tidaklah menyebabkan si mayit menjadi tertahan amalnya atau dia tidak tenang, atau keyakinan semacamnya.

Dalam kitab Al Inshaf, Al Mardawi Al Hambali mengatakan,

Ł‚Ų§Ł„ ŁŁŠ Ų§Ł„ŁŲµŁˆŁ„: ŁˆŁƒŲ°Ų§ Ł„Łˆ Ų±Ų¢Ł‡ Ł…Ų­ŲŖŲ§Ų¬Ų§ Ų„Ł„Ł‰ Ų±ŲØŲ· Ų£Ų³Ł†Ų§Ł†Ł‡ ŲØŲ°Ł‡ŲØ ŁŲ£Ų¹Ų·Ų§Ł‡ Ų®ŁŠŲ·Ų§ Ł…Ł† Ų°Ł‡ŲØ، Ų£Łˆ Ų£Ł†ŁŲ§ Ł…Ł† Ų°Ł‡ŲØ ŁŲ£Ų¹Ų·Ų§Ł‡ ŁŲ±ŲØŲ·Ł‡ ŲØŁ‡ ŁˆŁ…Ų§ŲŖ، Ł„Ł… ŁŠŲ¬ŲØ Ł‚Ł„Ų¹Ł‡ ŁˆŲ±ŲÆŁ‡، Ł„Ų£Ł† ŁŁŠŁ‡ Ł…Ų«Ł„Ų©

“Dalam kitab Al Fushul dinyatakan, jika ada orang yang butuh untuk mengikat giginya dengan emas, kemudian giginya diberi kawat emas. Atau dia butuh hidung emas, kemudian dia diberi hidung emas lalu diikat, kemudian dia mati, maka tidak wajib dilepas dan dikembalikan kepada pemiliknya. Karena melepasnya menyebabkan menyayat mayat.” (Al Inshaf 2/555).

Hal yang sama juga disampaikan Ibnu Qudamah,

ŁˆŲ„Ł† Ų¬ŲØŲ± Ų¹ŲøŁ…Ł‡ ŲØŲ¹ŲøŁ… ŁŲ¬ŲØŲ±، Ų«Ł… Ł…Ų§ŲŖ، Ł„Ł… ŁŠŁ†Ų²Ų¹ Ų„Ł† ŁƒŲ§Ł† Ų·Ų§Ł‡Ų±Ų§. ŁˆŲ„Ł† ŁƒŲ§Ł† Ł†Ų¬Ų³Ų§ ŁŲ£Ł…ŁƒŁ† Ų„Ų²Ų§Ł„ŲŖŁ‡ Ł…Ł† ŲŗŁŠŲ± Ł…Ų«Ł„Ų© Ų£Ų²ŁŠŁ„؛ Ł„Ų£Ł†Ł‡ Ł†Ų¬Ų§Ų³Ų© Ł…Ł‚ŲÆŁˆŲ± Ų¹Ł„Ł‰ Ų„Ų²Ų§Ł„ŲŖŁ‡Ų§ Ł…Ł† ŲŗŁŠŲ± Ł…Ų¶Ų±Ų©. ŁˆŲ„Ł† Ų£ŁŲ¶Ł‰ Ų„Ł„Ł‰ Ų§Ł„Ł…Ų«Ł„Ų© Ł„Ł… ŁŠŁ‚Ł„Ų¹

”Jika tulang seseorang ditambal dengan tulang hewan lain, lalu ditutup, kemudian dia mati, maka tidak boleh dilepas, jika tulang pasangan itu suci. Namun jika tulang pasangan itu najis, dan memungkinkan untuk dihilangkan tanpa menyayat mayit maka dia diambil. Karena ini termasuk benda najis yang mampu untuk dihilangkan tanpa membahayakan. Namun jika harus menyayat mayit maka tidak perlu dilepas.” (Al Mughni 2/404).

Dari keterangan di atas, pada prinsipnya melepas benda yang ada di jasad mayit tidak diperbolehkan, kecuali jika ada 2 pertimbangan..

• Ada maslahat besar untuk mengambil benda itu, misalnya karena nilainya yang mahal atau karena benda yang ada di tubuh mayit itu najis.

• Tidak membahayakan bagi mayit, misal tidak menyebabkan harus menyayat mayit.

Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan,

Ł…Ų§ Ų­ŁƒŁ… Ų£Ų³Ł†Ų§Ł† Ų§Ł„Ų°Ł‡ŲØ ŁˆŲŗŁŠŲ±Ł‡Ų§ Ł…Ł…Ų§ Ų±ŁƒŲØŁ‡ Ų§Ł„Ų„Ł†Ų³Ų§Ł† ŁŁŠ Ų­ŁŠŲ§ŲŖŁ‡ Ł‡Ł„ ŲŖŲÆŁŁ† Ł…Ų¹Ł‡ Ų£Ł… ŲŖŲ®Ł„Ų¹؟ Ų§Ł„Ų¬ŁˆŲ§ŲØ: Ų£Ł…Ų§ Ł…Ų§ Ł„Ų§ Ł‚ŁŠŁ…Ų© Ł„Ł‡ ŁŁ„Ų§ ŲØŲ£Ų³ Ų£Ł† ŁŠŲÆŁŁ† Ł…Ų¹Ł‡ ŁƒŲ§Ł„Ų£Ų³Ł†Ų§Ł† Ł…Ł† ŲŗŁŠŲ± Ų§Ł„Ų°Ł‡ŲØ ŁˆŲ§Ł„ŁŲ¶Ų© ŁˆŲ§Ł„Ų£Ł†Ł Ł…Ł† ŲŗŁŠŲ± Ų§Ł„Ų°Ł‡ŲØ، ŁˆŲ£Ł…Ų§ Ł…Ų§ ŁƒŲ§Ł† Ł„Ł‡ Ł‚ŁŠŁ…Ų© ŁŲ„Ł†Ł‡ ŁŠŲ¤Ų®Ų° Ų„Ł„Ų§ Ų„Ų°Ų§ ŁƒŲ§Ł† ŁŠŲ®Ų“Ł‰ Ł…Ł†Ł‡ Ų§Ł„Ł…ُŲ«Ł„Ų©، ŁƒŁ…Ų§ Ł„Łˆ ŁƒŲ§Ł† Ų§Ł„Ų³Ł† Ł„Łˆ Ų£Ų®Ų°Ł†Ų§Ł‡ ŲµŲ§Ų±ŲŖ Ų§Ł„Ł…ُŲ«Ł„Ų© ŁŲ„Ł†Ł‡ ŁŠŲØŁ‚Ł‰ Ł…Ų¹Ł‡

“Bagaimana hukum gigi emas atau semacamnya yang dipasang seseorang ketika hidup. Apakah dikubur bersama mayit ataukah boleh dilepas?.

Jawabannya, jika benda itu tidak bernilai, tidak masalah dikubur bersama mayit, seperti gigi yang bukan emas atau perak, atau hidung palsu yang bukan emas. Namun jika benda itu bernilai, maka boleh diambil, kecuali jika dikhawatirkan akan merusak badan mayit, misalnya ketika gigi itu diambil akan merusak rahang, maka gigi itu dibiarkan untuk dikubur bersama mayit.” (Asy Syarh Al Mumthi 5/283)

''Semoga bisa menjadi ilmu yang manfaat''

0 komentar: