Sabtu, 08 April 2017

TANDA IKHLAS: BERUSAHA MENYEMBUNYIKAN AMALAN

01.10.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Tausiah pagi ini adalah lanjutan dari tausiah sebelumnya “Berusaha untuk Ikhlas“. Pada kesempatan kali ini, ane akan menjelaskan dari salah satu tanda ikhlas yaitu berusaha menyembunyikan amalan. Berikut penjelasannya..

Pertama: Menyembunyikan Amalan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ

“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertaqwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup dan yang suka mengasingkan diri.” (HR. Muslim no.2965)

Mengasingkan diri berarti amalannya pun sering tidak ditampakkan pada orang lain.

Ibnul Mubarok mengatakan, “Jadilah orang yang suka mengasingkan diri (sehingga amalan mudah tersembunyi), dan janganlah suka dengan popularitas.”

Az Zubair bin Al ‘Awwam mengatakan, “Barangsiapa yang mampu menyembunyikan amalan shalehnya, maka lakukanlah.”

Ibrahim An Nakho’i mengatakan, “Kami tidak suka menampakkan amalan shaleh yang seharusnya disembunyikan.”

Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa Abu Hazim berkata, “Sembunyikanlah amalan kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan amalan kejelekanmu.”

Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Sebaik-baik ilmu dan amal adalah sesuatu yang tidak ditampakkan di hadapan manusia.”

Basyr Al Hafiy mengatakan, “Tidak selayaknya orang² semisal kita menampakkan amalan shaleh walaupun hanya sebesar dzarrah (semut kecil). Bagaimana lagi dengan amalan yang mudah terserang penyakit riya?”

Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sudah sepatutnya bagi seorang alim memiliki amalan rahasia yang tersembunyi, hanya Allah dan dirinya saja yang mengetahuinya. Karena segala sesuatu yang ditampakkan di hadapan manusia akan sedikit sekali manfaatnya di akhirat kelak.”

Contoh Para Salaf Dalam Menyembunyikan Amalan Mereka

Pertama: Menyembunyikan amalan shalat sunnah

Ar Robi bin Khutsaim murid Abdullah bin Mas’ud, tidak  pernah mengerjakan shalat sunnah di masjid kaumnya kecuali hanya sekali saja.

Kedua: Menyembunyikan amalan shalat malam

Ayub As Sikhtiyani memiliki kebiasaan bangun setiap malam. Ia pun selalu berusaha menyembunyikan amalannya. Jika waktu shubuh telah tiba, ia pura² mengeraskan suaranya seakan-akan ia baru bangun ketika itu.

Ketiga: Bersedekah secara sembunyi².

Di antara golongan yang mendapatkan naungan Allah di hari kiamat nanti adalah,

وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ

“Seseorang yang bersedekah kemudian ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.” (HR. Bukhari no.1423 dan Muslim no.1031)

Permisalan sedekah dengan tangan kanan dan kiri adalah ungkapan hiperbolis dalam hal menyembunyikan amalan. Keduanya dipakai sebagai permisalan karena kedekatan dan  kebersamaan kedua tangan tersebut.

Contoh yang mempraktekan hadits di atas adalah Ali bin Al Husain bin Ali. Beliau biasa memikul karung berisi roti setiap malam hari. Beliau pun membagi roti² tersebut ke rumah² secara sembunyi². Beliau mengatakan,

إِنَّ صَدَقَةَ السِّرِّ تُطْفِىءُ غَضَبَ الرَّبِّ عَزَّ وَ جَلَّ

“Sesungguhnya sedekah secara sembunyi² akan meredam kemarahan Rabb Azza wa jalla.”

Penduduk Madinah tidak mengetahui siapa yang biasa memberi mereka makan. Tatkala Ali bin Al Husain meninggal dunia, mereka sudah tidak lagi mendapatkan kiriman makanan setiap malamnya. Di punggung Ali bin Al Husain terlihat bekas hitam karena seringnya memikul karung yang dibagikan kepada orang miskin Madinah di malam hari. Subhanallah, kita mungkin sudah tidak pernah melihat makhluk semacam ini di muka bumi ini lagi.

Keempat: Menyembunyikan amalan puasa sunnah.

Dalam rangka menyembunyikan amalan puasa sunnah, sebagian salaf senang berhias agar tidak nampak lemas atau lesu karena puasa. Mereka menganjurkan untuk menyisir rambut dan memakai minyak di rambut atau kulit di kala itu. Ibnu Abbas mengatakan,

إِذَا كَانَ صَوْمُ أَحَدِكُمْ فَلْيُصْبِحْ دَهِينًا مُتَرَجِّلاً

“Jika salah seorang di antara kalian berpuasa, maka hendaklah ia memakai minyak²an dan menyisir rambutnya.”

Daud bin Abi Hindi berpuasa selama 40 tahun dan tidak ada satupun orang, termasuk keluarganya yang mengetahuinya. Ia adalah seorang penjual sutera di pasar. Di pagi hari, ia keluar ke pasar sambil membawa sarapan pagi. Dan di tengah jalan menuju pasar, ia pun menyedekahkannya. Kemudian ia pun kembali ke rumahnya pada sore hari, sekaligus berbuka dan makan malam bersama keluarganya. Jadi orang² di pasar mengira bahwa ia telah sarapan di rumahnya. Sedangkan orang² yang berada di rumah mengira bahwa ia menunaikan sarapan di pasar. Masyaa Allah, luar biasa trik beliau dalam menyembunyikan amalan.

Begitu pula para ulama seringkali membatalkan puasa sunnahnya karena khawatir orang² mengetahui kalau ia puasa. Jika Ibrahim bin Ad Ham diajak makan (padahal ia sedang puasa), ia pun ikut makan dan ia tidak mengatakan, “Maaf, saya sedang puasa”. 

Itulah para ulama, begitu semangatnya mereka dalam menyembunyikan amalan puasanya.

Kelima: Menyembunyikan bacaan Al Qur’an dan dzikir

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْجَاهِرُ بِالْقُرْآنِ كَالْجَاهِرِ بِالصَّدَقَةِ وَالْمُسِرُّ بِالْقُرْآنِ كَالْمُسِرِّ بِالصَّدَقَةِ

“Orang yang mengeraskan bacaan Al Qur’an sama halnya dengan orang yang terang²an dalam bersedekah. Orang yang melirihkan bacaan Al Qur’an sama halnya dengan orang yang sembunyi² dalam bersedekah."

Setelah menyebutkan hadits di atas, At Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini bermakna bahwa melirihkan bacaan Qur’an itu lebih utama daripada mengeraskannya karena sedekah secara sembunyi² lebih utama dari sedekah yang terang²an sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama. Mereka memaknakan demikian agar supaya setiap orang terhindar dari ujub. Seseorang yang menyembunyikan amalan tentu saja lebih mudah terhindar dari ujub daripada orang yang terang²an dalam beramal.”

Yang dipraktekan oleh para ulama, mereka sampai² menutupi mushafnya agar orang tidak tahu kalau mereka membaca Qur’an. Ar Robi’ bin Khutsaim selalu melakukan amalan dengan sembunyi². Jika ada orang yang akan menemuinya, lalu beliau sedang membaca mushaf Qur’an, ia pun akan menutupi Qur’annya dengan bajunya. 

Begitu pula halnya dengan Ibrohim An Nakho’i. Jika ia sedang membaca Qur’an, lalu ada yang masuk menemuinya, ia pun segera menyembunyikan Qur’annya. Mereka melakukan ini semua agar amalan shalehnya tidak terlihat oleh orang lain.

Keenam: Menyembunyikan tangisan

Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Tangisan itu ada sepuluh bagian. Sembilan bagian biasanya untuk selain Allah (tidak  ikhlas) dan satu bagian saja yang biasa untuk Allah. Jika ada satu tangisan saja dilakukan dalam sekali setahun (ikhlas) karena Allah, maka itu pun masih banyak.”

Dalam rangka menyembunyikan tangisnya, seorang ulama sampai pura² mengatakan bahwa dirinya sedang pilek karena takut terjerumus dalam riya. Itulah yang dicontohkan oleh Ayub As Sikhtiyani. Ia pura² mengusap wajahnya, lalu ia katakan, “Aku mungkin sedang pilek berat.” Tetapi sebenarnya ia tidak pilek, namun ia hanya ingin menyembunyikan tangisannya.

Sampai² salaf pun ada yang pura² tersenyum ketika ingin mengeluarkan tangisannya. Tatkala Abu As Sa-ib ingin menangis ketika mendengar bacaan Al Qur’an atau hadits, ia pun pura² menyembunyikan tangisannya (di hadapan orang lain) dengan sambil tersenyum.

Mu’awiyah bin Qurroh mengatakan, “Tangisan dalam hati lebih baik daripada tangisan air mata.”

Ketujuh: Menyembunyikan do’a

Uqbah bin Abdul Ghofir mengatakan, “Do’a yang dilakukan sembunyi² lebih utama 70 kali dari do’a secara terang²an. Jika seseorang melakukan amalan kebaikan secara terang²an dan melakukannya secara sembunyi² semisal itu pula, maka Allah pun akan mengatakan pada malaikat-Nya, “Ini baru benar² hamba-Ku.”

Lalu amalan² apa saja yang mesti disembunyikan?

Para ulama ada yang menjelaskan bahwa untuk amalan sunnah seperti sedekah sunnah dan shalat sunnah, maka lebih utama dilakukan sembunyi². Melakukan seperti inilah yang lebih mendekatkan pada ikhlas dan menjauhkan dari riya. Sedangkan amalan wajib seperti zakat yang wajib dan shalat lima waktu, lebih utama dengan ditampakkan.

Namun kadang amalan shaleh juga boleh ditampakkan jika memang ada faedah, misalnya agar memotivasi orang lain untuk beramal atau ingin memberikan pengajaran kepada orang lain.

Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Kaum muslimin sudah mengetahui bahwa amalan yang tersembunyi itu lebih baik. Akan tetapi amalan tersebut kadang boleh ditampakkan jika ada faedah.”

Yang pantas menampakkan amalan semacam ini agar bisa sebagai contoh atau uswah bagi orang lain adalah amalan para Nabi ‘alaihimus sholaatu wa salaam.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21)

Yang semisal dengan para Nabi yang pantas menjadi uswah (teladan) adalah para Khulafaur Rasyidin, pewaris Nabi yaitu ulama dan da’i serta setiap orang yang menjadi uswah (teladan).

Imam Al-Iz bin ‘Abdus Salam telah menjelaskan hukum menyembunyikan amalan kebajikan secara lebih terperinci. Beliau berkata, “Ketaatan  (pada Allah) ada tiga:

Pertama: Amalan yang disyariatkan untuk ditampakkan seperti adzan, iqomat, ucapan takbir ketika shalat, membaca Qur’an secara jahr dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya’ dan Shubuh), ketika berkhutbah, amar ma’ruf nahi mungkar, mendirikan shalat Jum’at dan shalat secara berjamaah, merayakan hari² Ied, jihad, mengunjungi orang² yang sakit, dan mengantar jenazah, maka amalan semacam ini tidak mungkin disembunyikan. Jika pelaku amalan² tersebut takut berbuat riya, maka hendaknya ia berusaha keras untuk menghilangkannya hingga dia bisa ikhlas dalam beramal. Sehingga dengan demikian dia akan mendapatkan pahala amalannya dan juga pahala karena kesungguhannya menghilangkan riya tadi, karena amalan² ini maslahatnya juga untuk orang lain.

Kedua: Amalan yang jika diamalkan secara sembunyi² lebih utama daripada jika ditampakkan. Contohnya seperti membaca Qur’an dengan sir (lirih) dalam shalat siriyah (zhuhur dan ashar), dan berdzikir dalam shalat secara perlahan. Maka dengan perlahan lebih baik daripada jika dijahrkan.

Ketiga: Amalan yang terkadang disembunyikan dan terkadang ditampakkan seperti amalan sedekah. Jika dia kawatir tertimpa riya atau dia tahu bahwasanya biasanya kalau dia nampakan amalannya dia akan riya, maka amalan (sedekah) tersebut disembunyikan lebih baik daripada jika ditampakkan.

Karena Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ

“Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang² fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 271)

Adapun orang yang aman dari riya maka ada dua keadaan sebagai berikut..

Pertama: Dia bukanlah termasuk orang yang jadi uswah (jadi contoh), maka lebih baik dia menyembunyikan sedekahnya, karena bisa jadi dia tertimpa riya tatkala menampakkan amalannya.

Kedua: Dia adalah orang yang jadi uswah, maka menampakan amalan seperti amalan sedekahnya lebih baik karena hal itu akan membuat lebih akrab dengan orang miskin dan dia pun bisa jadi uswah bagi orang lain. Dia telah memberi manfaat kepada fakir miskin dengan sedekahnya dan dia juga bisa mendorong orang² kaya untuk bersedekah pada fakir miskin karena mencontohi dia, dan dia juga telah memberi manfaat pada orang² kaya tersebut karena mengikuti dia beramal sholeh.”

Termasuk point ketiga ini adalah menjahrkan atau mensirkan bacaan surat pada shalat malam (shalat tahajud). Yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah terkadang mengeraskan bacaan dan terkadang melirihkan bacaan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah shalat ketika bersama Abu Bakar beliau memelankan suaranya dan ketika bersama Umar beliau mengeraskan suaranya. Suatu saat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Abu Bakar untuk mengeraskan suara dan memerintahkan Umar untuk melirihkan suaranya.

An Nawawi mengatakan, “Terdapat berbagai hadits yang menjelaskan keutamaan mengeraskan suara ketika membaca al Qur’an dan juga terdapat hadits yang menjelaskan keutamaan melirihkan bacaan. Dari sini, para ulama menjelaskan bahwa kompromi dari hadits² tersebut yaitu: melirihkan bacaan jadi lebih utama pada orang yang khawatir tertimpa riya. Jika tidak khawatir demikian, maka bacaannya boleh dikeraskan asalkan tidak mengganggu orang lain yang sedang shalat atau tidur.”

Bagaimana dengan dosa dan maksiat yang pernah dilakukan? Apakah boleh ditampakkan?

Setelah kita mengetahui dari penjelasan di atas, untuk amalan ketaatan diberi keringanan dalam beberapa kondisi untuk ditampakkan semisal untuk amalan wajib dan amalan sunnah (dalam beberapa keadaan). Sedangkan untuk maksiat sudah sepatutnya untuk disembunyikan.

Menyembunyikan dosa dan tidak menampakkan aib²nya pada manusia, itu malah terpuji dilihat dari beberapa sebab.

Pertama: Kita diperintahkan untuk menutup maksiat yang kita lakukan dan tidak perlu membuka kejelekan² diri kita. Disebutkan dalam hadits,

اِجْتَنِبُوْا هَذِهِ القَاذُوْرَةَ الَّتِي نَهَى اللهُ عَنْهَا ، فَمَنْ أَلَمَّ فَلْيَسْتَتِرْ بِسَتْرِ اللهِ

“Jauhilah dosa yang telah Allah larang. Siapa saja yang telah terlajur melakukan dosa  tersebut, maka tutuplah rapat² dengan apa yang telah Allah tutupi.”

Juga jika kita tidak suka dengan maksiat, maka kita pun hendaklah tidak suka orang lain mengetahuinya atau sampai melakukan hal yang sama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Seseorang di antara kalian tidak dikatakan beriman (dengan iman yang sempurna) hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
(HR. Bukhari no.13 dan Muslim no.45)

Kebalikannya (mafhumnya) adalah jika engkau tidak suka sesuatu pada dirimu, maka engkau haruslah tidak suka hal itu menimpa saudaramu. Oleh karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan iman dalam hadits ini, maka menunjukkan bahwa hal tersebut wajib dilakukan. Sehingga menutup dosa dan maksiat adalah wajib.

Kedua: Agar jangan sampai aib tersebut terbuka dan terkoyak di hadapan orang lain. Karena jika seseorang sudah merasa takut aibnya terbuka di dunia, maka niscaya aib tersebut sampai di akhirat akan terus tertutup. Oleh karena itu, orang² sholeh seringkali berdo’a: “Ya Allah, sebagaimana engkau menutupi aib²ku di dunia, maka janganlah buka aib²ku di akhirat.”

Ketiga: Agar orang lain tidak ikut²an melakukan maksiat yang telah dilakukan dan agar maksiat tersebut tidak tersebar luas di muka bumi. Oleh karena itu, sudah sepantasnya aib atau maksiat ditutupi sampai pula pada orang terdekat kita (misalnya kerabat dan orang tua).

Keempat: Agar kita lebih mudah mendapatkan ampunan dari Allah dan tidak termasuk orang² yang dicela dan tidak diterimanya taubatnya karena memamerkan maksiat yang ia lakukan.

كُلُّ أُمَّتِى مُعَافَاةٌ إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنَ الإِجْهَارِ أَنْ يَعْمَلَ الْعَبْدُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحُ قَدْ سَتَرَهُ رَبُّهُ فَيَقُولُ يَا فُلاَنُ قَدْ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ فَيَبِيتُ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

“Setiap umatku akan diampuni kecuali orang yang melakukan jahr. Di antara bentuk melakukan jahr adalah seseorang di malam hari melakukan maksiat, namun di pagi harinya padahal telah Allah tutupi, ia sendiri yang bercerita, “Wahai fulan, aku semalam telah melakukan maksiat ini dan itu.” Padahal semalam Allah telah tutupi maksiat yang ia lakukan, namun di pagi harinya ia sendiri yang membuka aib²nya yang telah Allah tutup.”

Kelima: Agar ia termasuk orang² yang memiliki rasa malu. Rasa malu inilah yang akan menghalangi dirinya menampakkan maksiat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِى إِلاَّ بِخَيْرٍ

“Rasa malu tidaklah datang kecuali membawa kebaikan.” (HR. Bukhari no.6117 dan Muslim no.37)

Keenam: Agar ia tidak mendapat ejekan atau celaan dari manusia. Karena celaan biasanya akan menusuk ke hati. Sedangkan hukuman had hanya akan menyakiti anggota badan.

Demikian pembahasan tanda ikhlas yang pertama..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang bermanfaat'..

0 komentar: